Yogyakarta Tempo Dulu
Peristiwa
itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia pertama. Presiden Soekarno memanggil ajudannya, Mayor Laut M
Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara peringatan
Detik – Detik proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946. Di halaman
Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika
sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di
benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, menurutnya wajib tetap
dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat
itu. “simbol – simbol apa yang bisa digunakan?” pikirnya.
Pilihannya
lalu jatuh pada pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengibaran lambing
Negara itu sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia
menunjuk lima orang pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima
orang itu, dalam pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila.
Salah
seorang pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1946 itu adalah Titiek Dewi, pelajar
SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di
Yogyakarta. Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke – 4 pada 17 Agustus 1948,
pengibaran oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu
tetap dilaksanakan.
Sejak
pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta pada tahun
1950, regu – regu pengibar dibentuk dan diatur oleh rumah tangga Kepresidenan
RI sampai tahun 1966. Namun, Mutahar yang mendapat “kado ultah ke – 49” ketika
ditunjuk menjadi dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) di Dep. P&K
tanggal 5 Agustus 1966, kembali teringat pada gagasannya tahun 1946.
Dari
sanalah, Mutahar kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang
kemudian diberi nama “Latihan Pandu Ibu Indonesia BerPancasila”. Latihan itu
sempat diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba Pasukan
Penggerek Bendera Pusaka dimasukkan dalam latihan itu tahun 1967 dengan peserta
terdiri dari pramuka penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta.
Latihan
itu mempunyai kekhasan, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang
menggunakan pendekatan sistem “KeluargaBahagia” dan diterapkan secara nyata
dalam konsep “desa bahagia”. Di desa itu, para peserta latihan (warga desa)
diajak berperan serta dalam menghayati kehidupan sehari – hari yang
menggambarkan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Detak
kehidupan Desa Bahagia dimulai dari penerimaan warga desa, pemilihan lurah,
perangkat desa dan musyawarah desa. Setelah di tengah – tengahnya diisi dengan
kegiatan fisik dan bimbingan mental, diakhir latihan diadakan secara unik,
penuh semangat kekeluargaan, demokratis dan penuh keriang – gembiraan.
Saat
Ditjen Udaka difusikan dengan Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda,
lalu berubah lagi menjadi Ditjen Pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga
(Diklusepora), salah satu direktorat dibawahnya adalah Direktorat Pembina
Generasi Muda. Direktorat inilah yang kemudian meneruskan penyelenggaraan latihan
dengan nama “Gladian Sentra Nasional”.
Cikal Bakal Paskibraka
Tahun
1957, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai
pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Akajan itu, bagi
Mutahar seperti “mendapat durian runtuh” karena berarti ia bisa meneruskan
gagasannya memebentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh
Indonesia.
Dengan
pengalaman militer dan penyelamatan bendera pusaka, Mutahar lalu menyusun
formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok
17/ pengiring (pemandu), kelompok 8 / pembawa (inti) dan kelompok 45 /
pengawal. Formasi itu juga menggambarkan tanggal proklamsi Kemerdekaan 17 – 8 –
45.
Karena
situasi yang belum memungkinkan, tahun 1967 Mutahar hanya bisa melibatkan putra
daerah yang ada di Jakarta dan telah menjadi anggota Pandu / pramuka sebagai
anggota pasukan. Niat untuk mengikutsertakan mahasiswa AKABRI (menggambarkan
generasi muda ABRI sebagai pengawal) di kelompok 45 tidak terlaksana, karena
saat itu sedang libur dan ada kendala soal transportasi untuk mendatangkan
mereka dari Magelang ke Jakarta.
Usul
mengajak pasukan khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, Marinir dan Brimob) juga
sulit, sehingga akhirnya diputuskan untuk mengambilnya dari Pasukan Pengawal
Presiden (Paswalpres) yang mudah dihubungi, apalagi mereka memang bertugas di
Istana Merdeka.
Pada
tanggal 17 Agustus 1968, Mutahar hanya bisa menangis haru bercampur bahagia,
ketika anggota “Penggerak Bendera” pertama terwujud dengan anggota pasukan para
pemuda utusan daerah. Tapi, karena hanya ada 23 propinsi yang bisa mengirimkan
utusan, sebagian anggota paskibraka 1968 masih diambil dari eks anggota pasukan
tahun 1967. Tahun itu juga, merupakan kali terakhir bendera pusaka asli
dikibarkan di tiang 17, mulai tahun 1969 dan seterusnya bendera pusaka asli
hanya dibawa mendampingi duplikat yang dikibarkan setiap tanggal 17 Agustus.
Meski
sudah diupayakan agar setiap daerah dapat mengirimkan utusan, sampai tahun 1969
niat itu tetap belum bisa terpenuhi. Paskibraka 1969 masih harus dilengkapi
dengan beberapa eks Pakibraka 1968 untuk menggenapkan jumlah tiap kelompok dan
informasi. Tahun 1970, barulah seluruh anggota pasukan berasal dari utusan
daerah.
Sebutan
“Pengerek Bendera” berlaku dari tahun 1967 sampai tahun 1972. Pada tahun 1973,
Direktur Pembinaan Generasi Muda Drs Idik Sulaeman melontarkan sebuah akronim
yang kemudian dipakai sampai sekarang. Nama itu adalah PASKIBRAKA. Kata PAS
berasal dari kata pasukan, KIB berasal dari kibar, RA dari kata bendera dan KA
berasal dari kata pusaka.
Seluruh
anggota Paskibraka dibagi menjadi dua tim yang bertugas pagi hari dan sore
hari. Jika dihitung seluruh propinsi mengirimkan dua utusan, maka jumlahnya
menjadi 52 orang. Dengan 25 orang bertugas pagi, 25 orang bertugas sore
(kelompok 17 dan 8), dua orang lagi dipersiapkan sebagai pembawa bendera pusaka
dari ruang dalam Istana Merdeka ke podium tempat inspektur Upacara (dalam hal
ini Presiden).
Hal
itu berlangsung sampai tahun 1976, karena tahun 1977 jumlah anggota paskibraka
bertambah menjadi 54 orang dengan berintegrasinya Timor Timur ke Indonesia pada
tahun 1976. Atas kebijaksanaan bersama dan niat untuk tidak membeda – bedakan
tugas dan tanggung jawab, seluruh anggota Paskibraka kini ikut bertugas dalam
pengibaran.
Tanpa
mengabaikan gagasan awal, kelompok 17 yang tadinya benar – benar berjumlah 17
sekarang berjumlah 19 orang. Atas pertimbangan yang matang, penyebutan nama
kelompok 17 dianggap sudah sukup menggambarkan, karena di sisi lain ada
kepentingan Negara yang juga wajib
diemban.
Falsafah Paskibraka
Tradisi
pengibaran bendera pusaka, baik metode latihan dan pembinaan, baris – berbaris,
formasi maupun olah gerak pengibaran yang dilaksanakan tahun 1968 sampai
sekarang tetap dipertahankan. Orisinalitas itu merupakan metode “trade mark”
sendiri bagi paskibraka, sehingga dalam kesempatan – kesempatan resmi ketika
mengikuti latihan {sekitar sebulan dari 27 Juli sampai 23 Agustus), mereka
selalu diperkenalkan dengan sebutan “Pemuda Teladan” (bukan sekedar “Pelajar
Teladan”). Sebutan lain untuk nereka adalah ADI yang artinya istimewa dan
berprestasi.
Para
pemuda yang terpilih sebagai para Adi Paskibraka tak cukup hanya seorang siswa
SLTA kelas 1 atau kelas 2 yang mempunyai prestasi akademis baik. Mereka juga
wajib memiliki fisik yang sempurna (tidak cacat / berkacamata, tinggi badan
putra minimal 170 cm dan putri 160 cm), aktif berorganisasi dan melakukan
berbagai kegiatan pelajar / remaja, dan merupakan yang terbaik dari sekian
banyak pemuda di propinsinya (ditentukan melalui seleksi).
Anggota
paskibraka tidak diambil dari organisasi kepemudaan dengan berbagai
pertimbangan. Mereka akan berlatih dan bergerak di lingkungan Istana
Kepresidenan selama lebih kurang tiga minggu dan membutuhkan pengamanan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Para siswa yang masih aktif akan lebih menjamin
hal itu. Itulah sebabnya, ketika di tahun 70-an ada sebuah organisasi
kepemudaan yang mengajukan permohonan untuk menggantikan para siswa SMTA
menjadi Paskibraka, permohonan itu ditolak oleh pihak Istana.
Alasan
kuat lainnya, siswa SMTA dipandang belum terpengaruh oleh masukan – masukan
politis. Mereka masih murni dan mudah dibentuk watak dan pribadinya, rasa
berbangsa dan bernegaranya, serta disiplin pribadi dan kelompoknya.
Selain
itu, menghadirkan para pemuda yang masih pelajar dari seluruh Indonesia juga
memiliki falsafah yang dalam. Menyerahkan tugas mulia mengibarkan bendera
pusaka kepada tunas bangsa dari seluruh daerah. Bermakna kemerdekaan Indonesia
menjadi tanggung jawab seluruh bangsa.
Kalau
bukan karena falsafah itu, bisa saja anggota paskibraka diambil dari para
pemuda di Jakarta, karena berbagai suku ada di
Ibukota. Pemerintah tidak perlu berletih – lelah mendatangkan mereka,
yang tentu saja menimbulkan risiko biaya tidak kecil. Namun, semangat kesatuan
dan persatuan, jiwa kebangsaan, rasa bangga dan senasib sepenanggungan tetap
mempunyai arti tersendiri.
Para
Purna Paskibraka (mereka yang selesai menjalankan tugas mengibarkan bendera
pusaka) diharapkan akan membawa dan menularkan pengalaman yang diperoleh kepada
teman – teman sebaya di daerahnya, kepada keluarga di rumah dan masyarakat di
lingkungannya.
Seperti
juga falsafah “desa bahagia”, setiap purna paskibraka kelak akan membawa
perubahan di keluarga dan lingkungan. Dari sebuah keluarga bahagia akan
tercipta lingkungan yang bahagia. Dari lingkungan yang bahagia akan tercipta
desa yang bahagia, kecamatan yang bahagia, kabupaten / kotamadya yang bahagia,
propinsi yang bahagia. Dan, pada gilirannya akan tercipta pula Negara yang bahagia.
Sampai
tahun 1944, dengan selesainya 27 pasukan yang mengibarkan bendera pusaka,
jumlah purna paskibraka yang tersebar di seluruh Indonesia berjumlah 1.384
orang. Mereka kini tersebar dan menjalani berbagai profesi dan menduduki
berbagai jabatan. Para perintis dan pemrakarsa paskibraka yakin, mereka akan
mengaplikasikan ke-Adi-annya dalam kehidupan sehari – hari, minimal dalam
bentuk paling sederhana, di lingkungan keluarga tersendiri.
0 komentar:
Posting Komentar