MY ACTION SHOCKING YOU

Rabu, 27 Juni 2012

Sejarah Paskibraka


Yogyakarta Tempo Dulu
Peristiwa itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pertama. Presiden Soekarno memanggil ajudannya, Mayor Laut M Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara peringatan Detik – Detik proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946. Di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, menurutnya wajib tetap dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. “simbol – simbol apa yang bisa digunakan?” pikirnya.
Pilihannya lalu jatuh pada pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengibaran lambing Negara itu sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia menunjuk lima orang pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima orang itu, dalam pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila.
Salah seorang pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1946 itu adalah Titiek Dewi, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta. Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke – 4 pada 17 Agustus 1948, pengibaran oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap dilaksanakan.
Sejak pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta pada tahun 1950, regu – regu pengibar dibentuk dan diatur oleh rumah tangga Kepresidenan RI sampai tahun 1966. Namun, Mutahar yang mendapat “kado ultah ke – 49” ketika ditunjuk menjadi dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) di Dep. P&K tanggal 5 Agustus 1966, kembali teringat pada gagasannya tahun 1946.
Dari sanalah, Mutahar kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama “Latihan Pandu Ibu Indonesia BerPancasila”. Latihan itu sempat diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba Pasukan Penggerek Bendera Pusaka dimasukkan dalam latihan itu tahun 1967 dengan peserta terdiri dari pramuka penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta.
Latihan itu mempunyai kekhasan, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang menggunakan pendekatan sistem “KeluargaBahagia” dan diterapkan secara nyata dalam konsep “desa bahagia”. Di desa itu, para peserta latihan (warga desa) diajak berperan serta dalam menghayati kehidupan sehari – hari yang menggambarkan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Detak kehidupan Desa Bahagia dimulai dari penerimaan warga desa, pemilihan lurah, perangkat desa dan musyawarah desa. Setelah di tengah – tengahnya diisi dengan kegiatan fisik dan bimbingan mental, diakhir latihan diadakan secara unik, penuh semangat kekeluargaan, demokratis dan penuh keriang – gembiraan.
Saat Ditjen Udaka difusikan dengan Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda, lalu berubah lagi menjadi Ditjen Pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga (Diklusepora), salah satu direktorat dibawahnya adalah Direktorat Pembina Generasi Muda. Direktorat inilah yang kemudian meneruskan penyelenggaraan latihan dengan nama “Gladian Sentra Nasional”.

Cikal Bakal Paskibraka
Tahun 1957, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Akajan itu, bagi Mutahar seperti “mendapat durian runtuh” karena berarti ia bisa meneruskan gagasannya memebentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh Indonesia.
Dengan pengalaman militer dan penyelamatan bendera pusaka, Mutahar lalu menyusun formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok 17/ pengiring (pemandu), kelompok 8 / pembawa (inti) dan kelompok 45 / pengawal. Formasi itu juga menggambarkan tanggal proklamsi Kemerdekaan 17 – 8 – 45.
Karena situasi yang belum memungkinkan, tahun 1967 Mutahar hanya bisa melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan telah menjadi anggota Pandu / pramuka sebagai anggota pasukan. Niat untuk mengikutsertakan mahasiswa AKABRI (menggambarkan generasi muda ABRI sebagai pengawal) di kelompok 45 tidak terlaksana, karena saat itu sedang libur dan ada kendala soal transportasi untuk mendatangkan mereka dari Magelang ke Jakarta.
Usul mengajak pasukan khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, Marinir dan Brimob) juga sulit, sehingga akhirnya diputuskan untuk mengambilnya dari Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) yang mudah dihubungi, apalagi mereka memang bertugas di Istana Merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, Mutahar hanya bisa menangis haru bercampur bahagia, ketika anggota “Penggerak Bendera” pertama terwujud dengan anggota pasukan para pemuda utusan daerah. Tapi, karena hanya ada 23 propinsi yang bisa mengirimkan utusan, sebagian anggota paskibraka 1968 masih diambil dari eks anggota pasukan tahun 1967. Tahun itu juga, merupakan kali terakhir bendera pusaka asli dikibarkan di tiang 17, mulai tahun 1969 dan seterusnya bendera pusaka asli hanya dibawa mendampingi duplikat yang dikibarkan setiap tanggal 17 Agustus.
Meski sudah diupayakan agar setiap daerah dapat mengirimkan utusan, sampai tahun 1969 niat itu tetap belum bisa terpenuhi. Paskibraka 1969 masih harus dilengkapi dengan beberapa eks Pakibraka 1968 untuk menggenapkan jumlah tiap kelompok dan informasi. Tahun 1970, barulah seluruh anggota pasukan berasal dari utusan daerah.
Sebutan “Pengerek Bendera” berlaku dari tahun 1967 sampai tahun 1972. Pada tahun 1973, Direktur Pembinaan Generasi Muda Drs Idik Sulaeman melontarkan sebuah akronim yang kemudian dipakai sampai sekarang. Nama itu adalah PASKIBRAKA. Kata PAS berasal dari kata pasukan, KIB berasal dari kibar, RA dari kata bendera dan KA berasal dari kata pusaka.
Seluruh anggota Paskibraka dibagi menjadi dua tim yang bertugas pagi hari dan sore hari. Jika dihitung seluruh propinsi mengirimkan dua utusan, maka jumlahnya menjadi 52 orang. Dengan 25 orang bertugas pagi, 25 orang bertugas sore (kelompok 17 dan 8), dua orang lagi dipersiapkan sebagai pembawa bendera pusaka dari ruang dalam Istana Merdeka ke podium tempat inspektur Upacara (dalam hal ini Presiden).
Hal itu berlangsung sampai tahun 1976, karena tahun 1977 jumlah anggota paskibraka bertambah menjadi 54 orang dengan berintegrasinya Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1976. Atas kebijaksanaan bersama dan niat untuk tidak membeda – bedakan tugas dan tanggung jawab, seluruh anggota Paskibraka kini ikut bertugas dalam pengibaran.
Tanpa mengabaikan gagasan awal, kelompok 17 yang tadinya benar – benar berjumlah 17 sekarang berjumlah 19 orang. Atas pertimbangan yang matang, penyebutan nama kelompok 17 dianggap sudah sukup menggambarkan, karena di sisi lain ada kepentingan Negara yang  juga wajib diemban.



Falsafah Paskibraka
Tradisi pengibaran bendera pusaka, baik metode latihan dan pembinaan, baris – berbaris, formasi maupun olah gerak pengibaran yang dilaksanakan tahun 1968 sampai sekarang tetap dipertahankan. Orisinalitas itu merupakan metode “trade mark” sendiri bagi paskibraka, sehingga dalam kesempatan – kesempatan resmi ketika mengikuti latihan {sekitar sebulan dari 27 Juli sampai 23 Agustus), mereka selalu diperkenalkan dengan sebutan “Pemuda Teladan” (bukan sekedar “Pelajar Teladan”). Sebutan lain untuk nereka adalah ADI yang artinya istimewa dan berprestasi.
Para pemuda yang terpilih sebagai para Adi Paskibraka tak cukup hanya seorang siswa SLTA kelas 1 atau kelas 2 yang mempunyai prestasi akademis baik. Mereka juga wajib memiliki fisik yang sempurna (tidak cacat / berkacamata, tinggi badan putra minimal 170 cm dan putri 160 cm), aktif berorganisasi dan melakukan berbagai kegiatan pelajar / remaja, dan merupakan yang terbaik dari sekian banyak pemuda di propinsinya (ditentukan melalui seleksi).
Anggota paskibraka tidak diambil dari organisasi kepemudaan dengan berbagai pertimbangan. Mereka akan berlatih dan bergerak di lingkungan Istana Kepresidenan selama lebih kurang tiga minggu dan membutuhkan pengamanan yang dapat dipertanggungjawabkan. Para siswa yang masih aktif akan lebih menjamin hal itu. Itulah sebabnya, ketika di tahun 70-an ada sebuah organisasi kepemudaan yang mengajukan permohonan untuk menggantikan para siswa SMTA menjadi Paskibraka, permohonan itu ditolak oleh pihak Istana.
Alasan kuat lainnya, siswa SMTA dipandang belum terpengaruh oleh masukan – masukan politis. Mereka masih murni dan mudah dibentuk watak dan pribadinya, rasa berbangsa dan bernegaranya, serta disiplin pribadi dan kelompoknya.
Selain itu, menghadirkan para pemuda yang masih pelajar dari seluruh Indonesia juga memiliki falsafah yang dalam. Menyerahkan tugas mulia mengibarkan bendera pusaka kepada tunas bangsa dari seluruh daerah. Bermakna kemerdekaan Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh bangsa.
Kalau bukan karena falsafah itu, bisa saja anggota paskibraka diambil dari para pemuda di Jakarta, karena berbagai suku ada di  Ibukota. Pemerintah tidak perlu berletih – lelah mendatangkan mereka, yang tentu saja menimbulkan risiko biaya tidak kecil. Namun, semangat kesatuan dan persatuan, jiwa kebangsaan, rasa bangga dan senasib sepenanggungan tetap mempunyai arti tersendiri.
Para Purna Paskibraka (mereka yang selesai menjalankan tugas mengibarkan bendera pusaka) diharapkan akan membawa dan menularkan pengalaman yang diperoleh kepada teman – teman sebaya di daerahnya, kepada keluarga di rumah dan masyarakat di lingkungannya.
Seperti juga falsafah “desa bahagia”, setiap purna paskibraka kelak akan membawa perubahan di keluarga dan lingkungan. Dari sebuah keluarga bahagia akan tercipta lingkungan yang bahagia. Dari lingkungan yang bahagia akan tercipta desa yang bahagia, kecamatan yang bahagia, kabupaten / kotamadya yang bahagia, propinsi yang bahagia. Dan, pada gilirannya akan tercipta pula Negara yang bahagia.
Sampai tahun 1944, dengan selesainya 27 pasukan yang mengibarkan bendera pusaka, jumlah purna paskibraka yang tersebar di seluruh Indonesia berjumlah 1.384 orang. Mereka kini tersebar dan menjalani berbagai profesi dan menduduki berbagai jabatan. Para perintis dan pemrakarsa paskibraka yakin, mereka akan mengaplikasikan ke-Adi-annya dalam kehidupan sehari – hari, minimal dalam bentuk paling sederhana, di lingkungan keluarga tersendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

© PASMANEBA JAYA, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena