Jumat
pagi 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Ir.
Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta baru saja membacakan pernyataan
proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Yang terjadi kemudian memang tidak
pernah direncanakan atau diperintahkan. Ibu Fatmawati yang menjahit sendiri
bendera merah putih dengan tangannya, menyerahkan bendera itu kepada dua orang
pemuda.
Seorang
pemuda yang sampai saat ini tak tercatat namanya menggunakan kemeja lengan
pendek dan celana pendek longgar. Sementara yang satu lagi memagai seragam PETA
(Pembela Tanah Air), lengkap dengan atribut, topi pet dan pedang panjang.
Dialah pemuda Abdul Latief Hendraningrat yang menggerek bendera ke puncak
tiang. Dengan gagahnya, bendera berkibar melambai – lambai di angkasa Indonesia
ditiup angin pagi.
Latief
adalah salah seorang pemuda Indonesia yang pertama kali mengibarkan bendera
pusaka. Ia telah mengibarkan lambing kebanggaan bangsa itu dengan semangat
kepahlawanan, tanpa dikawal pasukan, tanpa formasi dan tanpa aba – aba. Namanya
memang cenderung tidak pernah disebut – sebut orang, tapi ia adalah satu dari
sekian banyak pemuda yang mengambil peran dalam proklamasi kemerdekaan.
Dilahirkan
di Jakarta dari keluarga RM Said Hendraningrat, 15 Februari 1911. Abdul Latief
Hendraningrat pernah mengecap pendidikan di sekolah dasar Europese Ingere
School (ELS) di Jakarta. Pasuruan dan Cianjur. Sekolah menengah juga
dijalaninya lewat MULO (serta SMP) di Bandung dan Surabaya. Serta AMS-B (setara
SMA) di Malang.
Latief
termasuk beruntung karena di zaman penjajahan Belanda masih bisa menikmati
pendidikan secara lengkap. Seusai menamatkan AMS-B, Ia berhasil meneruskan
sekolah sekolah ke Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Enam
tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, Ia juga sempat menimba ilmu di Teacher
College di Columbia University New York.
Sejak
muda, Latief memang aktif sebagai anggota perkumpulan Indonesia Moeda dan
Soeryawirawan (kelompok kepanduan Partai Indonesia Raya). Tahun 1939, bahkan ia
sempat memimpin rombongan kesenian Hindia Belanda dalam event New York World
Fair I di Amerika serikat.
Dalam
sejarah pemerintahan, Latief pernah menjabat Wedana Betawi. Dalam profesinya,
ia juga pernah mengabdikan diri di dunia pendidkan sebagai guru bahsa Inggris
di Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah Jakarta. Pada saat pendudkan Jepang, ia
masuk Chou Zeinen Kurunzo se Jawa, lalu masuk PETA di Jakarta sebagai Chu
Dancho pada tahun 1943.
Setelah
kemerdekaan, pada kurun waktu tahun 1952 – 1957, Latief menjadi Atase Militer
RI di Manila dan Washington. Selama setahun setelah itu (1957 – 1958) ia
ditunjuk sebagai direktur Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad), lalu
menjadi sekretaris Militer Presiden pada tahun 1959.
Dalam
dunia politik, Latief tercatat sebagai anggota DPR – GR pada periode 1960 –
1965. Setelah itu, ia kembali terjun ke dunia yang lama ditinggalkannya,
pendidikan, dengan menjadi rector IKIP Rawamangun Jakarta selama satu tahun
(1965 – 1966).
Dunia
militer, pendidikan dan social kemasyarakatan agaknya tetap menjadi bagian yang
tak terpisahkan dalam hidup Latief. Saat tidak lagi menjalani tugas Negara, ia
masih menyumbangkan tenaga dan pikirannya bersama rekan – rekan angkatan ’45 di
Markas Komando Djawa (MBRD) dan bersedia ditunjuk sebagai ketua umum yayasan 19
Desember 1948.
Yayasan
yang dipimpinnya berhasil merampungkan pembangunan dua monument Perang Rakyat
Semesta, masing – masing di Boro Kulon progo (Yogyakarta) yang diresmikan Wakil
Presiden Adam Malik pada tahun 1982 dan di Kepurun Menisrenggo, Klaten (Jawa
Tengah).
Senin
malam, 14 Maret 1983 pukul 21.00 WIB, Latief Hendraningrat meninggal dengan
tenang pada usia 72 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Subroto Jakarta. Selama dua minggu sebelumnya, ia sempat dirawat karena
penyakit usus buntu.
Dengan
pangkat kemiliteran terakhir Brigadir Jenderal dan dinaikkan menjadi Mayor
Jenderal, jenazah Latief Hendraningrat disemanyamkan di rumah kediaman Jalan
Mangunsarkoro Jakarta Pusat sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Upacara kemiliteran dipimpin oleh Menko Kesra Surono yang saat itu
juga menjadi ketua umum Dewan Harian Nasional Angkatan ’45.
Almarhum
Latief meninggalkan seorang istri serta seorang putra dan tiga putri. Tapi,
dalam sejarah perjalanan bangsa, ia sebenarnya meninggalkan jejak – jejak yang
demikian banyak dan panjang, seperti juga ia meninggalkan tapak – tapak
pengibaran bendera pusaka kepada Paskibraka.
0 komentar:
Posting Komentar