Sejarah
telah membuktikan, kelompok – kelompok manusia yang bergabung menjadi satu
himpunan kuat selalu memiliki tanda – tanda, lambing dan atribut. Dari peninggalan arkeologis ratusan, bahkan ribuan
tahun lalu, lambang – lambing itu telah dikenal dengan wujud tunggul, panji –
panji, merawal, ubur – ubur, dihuaja dan pataka. Dari bahasa asing kita
akhirnya mengenal satu lagi, yakni kata “bendera”.
Bendera
Negara Republik Indonesia adalah “Sang Merah Putih”. Satu hari setelah
dikibarkan, undang – undang Dasar 1945 yang disyahkan pada 18 Agustus 1945
mencantumkan Bab XV pasal 35 yang berbunyi “Bendera
Negara Indonesia ialah sang merah putih”. Melalui peraturan pemerintah (PP)
nomor 40 tahun 1958 ditetapkan pula peraturan tentang Bendera Kebangsaan
Republik Indonesia yang dimuat dalam lembaran Negara No.65/1958 tanggal 26 Juni
1958 dan penjelaasan dalam tambahan lembaran Negara no.1633.
Dalam
filsafat warna merah putih terhimpun sebuah panduan harmonis. Merah berarti
keberanian dan putih berarti kesucian. Dalam pola pikir dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, kedua warna itu juga mencerminkan berbagai hakekat. Merah
putih menunjukkan hakekat alam makro dan mikro yang menyatukan manusia dengan
bumi lingkungannya.
Jahitan Tangan
Bendera
pusaka yang setiap 17 Agustus mendampingi pengibaran duplikatnya di halaman
Istana Merdeka Jakarta memiliki sejarah yang sama panjangnya dengan kemerdekaan
Indonesia sendiri. Bendera yang dijahit sendiri oleh tangan ibu fatmawati Soekarno dikibarkan pertama
kali pada 17 Agustus 1945 seusai dwitunggal Soekarno – Hatta membacakan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Bendera
pusaka berkibar siang dan malam di Jakarta, di tengah hujan peluru sampai saat
ibukota Negara dipindahkan ke Yogyakarta. Karena aksi terror belanda semakin
meningkat. Tanggal 4 Januari 1946 Presiden danwakil presiden meninggalkan
Jakarta menuju Yogyakarta dengan kereta api.
Saat
itu, bendera pusaka dimasukkan ke dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selama
dua tahun, bendera itu berkibar di Yogyakarta, sampai 19 Desember 1948 Belanda
melancarkan agresi militer kedua. Presiden, wakil presiden dan beberapa pejabat
tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat Istana Presiden
Gedung Agung Yogyakarta dikepung, soekarno sempat memanggil salah seorang
ajudannya, Mayor Laut M Husain Mutahar, ke kamar pribadinya. Sang ajudan lalu
ditugaskan untuk menyelamatkan bendera pusaka. Saat itu Soekarno berucap lepada
Mutahar :
“ Apa yang terjadi pada diriku, aku
sendiri tidak tahu. Dengan ini aku member tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan
apapun juga, aku memerintahkan engkau untuk menjaga Bendera kita dengan
nyawamu. ini tidak boleh jatuh ke tangan
musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkan, engkau harus mengembalikannya
kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali orang yang menggantikanku
sekiranya umurku pendek.
“ Andaikan engkau gugur dalam
menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia
harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya”. *)
Mutahar
terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa, sementara bom berjatuhan disekeliling
mereka. Tanggung jawab itu sungguh berat. Akhirnya, Mutahar memecahkan
kesulitan itu dengan mencabut benang jahitan tangan yang memisahkan kain merah
dan putih dari bendera itu dengan bantuan Ibu Perna Dinata.
Masing
– masing bagian merah dan putih dimasukkan dalam dua tas terpisah milik Mutahar
serta diselipkan di antara pakaian dan perlengkapan pribadinya. Mutahar hanya
berpikir, dengan memisahkannya menjadi secarik kain merah dan lainnya putih,
bendera pusaka akan terhindar dari penyitaan pihak belanda.
Ketika
Soekarno dibawa Belanda ke Prapat ( sekarang di sumatera utara ) lalu
dipindahkan ke Bangka sedangkan Hatta langsung ke Muntok ( Bangka ), Mutahar
juga diangkut dengan salah satu pesawat Dakota. Ternyata, ia dan beberapa orang
lainnya dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Saat ditahan itulah, Mutahar
berhasil melarikan diri dan naik kapal laut kembali ke Jakarta.
Di
Jakarta, Mutahar menginap di rumah PM Sutan Sjahrir yang tidak ikut mengungsi
ke Yogya. Beberapa hari kemudian, ia kos di jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah
R Said Soekanto Tjokrodiatmojo ( kepala Kepolisian pertama Indonesia ). Selama
di Jakarta, ia selalu mencari informasi
dan cara, bagaimana agar dapat segera menyerahkan kembali bendera pusaka kepada
Presiden.
Sekitar
pertengahan Juni 1949, pada suatu pagi Mutahar menerima pemberitahuan dari
bapak Soedjono yang tinggal di aoaranje Boulevard ( sekarang jalan Diponegoro )
Jakarta yang menyebutkan, ada sebuah surat pribadi dari presiden Soekarno
untuknya. Sore hari, surat itu diambil Mutahar dan ternyata benar – benar dari
Presiden.
Surat
itu berisi perintah agar Mutahar segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang
diterimanya di Yogyakarta kepada Soedjono sebagai perantara. Hal itu untuk
menjaga kerahasiaan saat bendera pusaka dibawa dan diserahkan kepada Presiden
Soekarno yang sedang dalam pengasingan di Muntok ( Bangka ).
Dalam
pengasingan, Soekarno hanya boleh dikunjungi anggota delegasi Republik
Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI ( United Nations
Committee for Indonesia ), termasuk Sudjono. Mutahar sendiri bukanlah anggota
delegasi.
Setelah
mengetahui jadwal keberangkatan Soedjono ke Bangka. Mutahar meminjam mesin
jahit tangan milik seorang istri dokter. Bendera pusaka yang terpisah itu dijahit
kembali, dengan persis mengikuti lubang bekas jahitan aslinya. Meski dilakukan
dengan sangat hati – hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm
di bagian ujungnya.
Bendera
pusaka yang telah dijahit kembali itu lalu dibungkus dengan kertas koran agar
tidak mencurigakan. Soedjono berhasil dengan selamat menyerahkan bendera pusaka
itu kepada Presiden Soekarno seperti apa yang diperintahkan. Berakhirlah drama
penyelamatan bendera pusaka dan sejak itu Mutahar tad lagi menangani masalah
pemgibaran bendera pusaka sperti yang dijalaninya sejak tahun 1946.
Tanggal
6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke
Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus
1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman Istana Presiden Gedung Agung
Yogyakarta. Naskah pengakuan kedaulatan Indonesia ditandatangani 27 Desember
1949 dan sehari setelah itu, 28 Desember 1949, Soekarno kembali ke Jakarta
untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat
tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia.
Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta.
Untuk
pertama kalinya setelah proklamasi kemerdekaan, bendera pusaka kembali
dikibarkan di Jakarta. Pada peringatan detik – detik proklamasi 17 Agustus
1950, bendera pusaka berkibar dengan megahnya di puncak tiang 17 di halaman
Istana Merdeka. Bendera pusaka itu terus
dikibarkan setiap tahun sampai 1968.
Sebagai
penghargaan atas jasa – jasanya menyelamatkan bendera pusaka, tahun 1961
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada M.
Husain Mutahar. Penyematan bintang jasa dilakukan sendiri oleh Presiden
Soekarno sebagai pemimpin tertinggi dan orang yang memberi kepercayaan langsung
kepada Mutahar.
Duplikat Bendera Pusaka
Pada
tahun 1968, kondisi bendera pusaka sudah sangat tua dan robek di keempat
sudutnya. Husain Mutahar mengusulkan pembuatan bendera duplikat yang dibuat
dari bahan kain sutra. Pewarna dan alat tenun asli Indonesia. Lalu ditenun
tanpa jahitan antara merah dan putihnya. Sayang, gagasan itu tidak sampai
karena keterbatasan yang ada.
Pembuatan
duplikat bendera pusaka dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung, dibantu
PT Ratna di Ciawi Bogor. Syarat yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena
bahan pewarna asli Indonesia tidak meiliki warna merah standar bendera.
Sementara penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu
terlalu lama.
Duplikat
akhirnya dibuat dengan bahan sutera, namun menggunakan bahan warna import dan
ditenun dengan mesin. Bendera duplikat itu kemudian dibagi – bagikan ke seluruh
daerah tingkat I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri pada 5
Agustus 1969.
Duplikat
bendera pusaka yang sekarang dikibarkan di tiang 17 Istana Merdeka setiap 17
Agustus, dibuat dari kain bendera ( wool ). Bagian merah terdiri dari tiga
potongan kain memanjang begitu juga kain putihnya yang berwarna agak
kekuningan. Seluruh potongan itu disatukan dengan mesin jahit dan pada salah
satu bagian pinggirnya dipasangi sepotong tali inti. Pemasangannya di tali
tiang tidak satu persatu ( seperti pada duplikat bendera pusaka hasil karya
Balai Penelitian Tekstil ), tapi cukup diikatkan pada kedua ujung tali intinya.
0 komentar:
Posting Komentar