MY ACTION SHOCKING YOU

Rabu, 27 Juni 2012

Pasmaneba In Action 2012

Saat mengikuti lomba di SMAN 1 Bangil

Lomba PBB dan Kreasi Tingkat Jawa Timur.

Check This Out.... :D

Ready For Battle
Ready For Battle
Mantap...!!
Siap Grak..!!
Jalan Di tempat grak..!!
Hormat Kanan Grak..!!
Buka Formasi..

Read More

Sejarah Nama Indonesia



Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.


Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").


Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.


Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").


Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).


Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.


Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.


 Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.


Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):


"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".


Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.


Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]


Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.


Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):


"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"


Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.


Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.


Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.


Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").


 Politik


Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]


Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,

"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."


Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.


Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.


Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.


Read More

Sejarah Pasuruan



PENDAHULUAN


Kabupaten Pasuruan, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Pasuruan. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Laut Jawa di utara, Kabupaten Probolinggo di barat, Kabupaten Malang di selatan, Kota Batu di barat daya, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Kabupaten ini dikenal sebagai daerah industri dan daerah wisata, termasuk Gunung Bromo.
Kabupaten Pasuruan memiliki keanekaragaman penduduk yang sebagian besar adalah suku Jawa, selain itu bisa juga ditemui suku-suku lain seperti suku Madura serta masyarakat keturunan Tionghoa-Indonesia, Arab dan India. Di Pasuruan juga masih dapat ditemui satu suku dengan sosial budaya khas, yaitu masyarakat Tengger yang hidup di kawasan Pegunungan Tengger Kecamatan Tosari. Sistem sosial dan religi masyarakat Tengger ini sangat unik dan khas dengan berbagai aktivitasnya seperti perayaan Hari Raya Kasada dan Hari Raya Karo yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai religius dan sejarah.

Kota Pasuruan, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Terletak sekitar 75 km sebelah tenggara Kota Surabaya, Kota Pasuruan berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, serta Kabupaten Pasuruan di sebelah timur, selatan, dan tengah. Kota Pasuruan terdiri dari tiga kecamatan 34 kelurahan.

Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.

Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.

SEJARAH PASURUAN

PASURUAN adalah kota Bandar kuno. Pada jaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.

Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.

Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.

 Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).

Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) himgga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).

Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686 Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.

Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda.

Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.

Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan Kota Pasuruan.

Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).

Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.

Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bangil.

Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya. Pada saat dihadiahkan Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).

Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).

Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809 Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.

Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.

Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.

Mengurai Sejarah Asal Usul Kabupaten Pasuruan Pra Sejarah Jaman prasejarah Indonesia ialah jaman semasa belum ada keterangan tertulis tentang Indonesia, baik yang ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh bukan bangsa Indonesia. Sedangkan jaman setelah adanya keterangan tertulis disebut jaman sejarah. Waktu bermulanya jaman prasejarah Indonesia, ialah sejak adanya jenis manusia tertua di Indonesia, yaitu Meganthropus Paleo Javanicus, atau manusia besar dari Jawa jaman kuno yang peninggalannya ditemukan oleh Von Koningswald pada tahun 1941 M di desa Sangiran, lembah Bengawan Solo Jawa Timur. Kemudian disusul oleh Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan tegak, yang peninggalannya ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 M di desa Trinil, Jawa Timur . Masa hidupnya diperkirakan pada jaman Pleistosen kira-kira pada tahun 600.000 sebelum Masehi. Sedang berakhirnya jaman prasejarah Indonesia sejak adanya keterangan tertulis yaitu adanya Yupa-yupa di Kutai Kalimantan Timur yang bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, yang diperkirakan berasal dari tahun 400 Masehi. Penghuni ini menurut penyelidikan Von Heine Geldern dan Prof. H. Kern yang berdasarkan pada perbandingan wilayah dan penyelidikan bahasa ternyata berasal dari daerah Yunnan di Cina Selatan. Penyebarannya ke Indonesia melalui dua jurusan. Jurusan barat melaui Indo Cina, Semenanjung, kemudian masuk ke Indonesia, yaitu ke Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sedang yang jurusan Timur melalui daratan Asia, ke Jepang, pulau-pulau Taiwan, Filipina, kemudian masuk ke Indonesia melalui Minahasa terus ke timur . Awal Mula Pemukiman di Pasuruan Setelah masa pra sejarah ini paling tidak pada sekitar abad 7 M wilayah Pasuruan telah menjadi tempat hunian masyarakat yang teratur atau berpemerintahan. Temuan fosil manusia di Trinil, Ngandong, Mojokerto menunjukkan bahwa Jawa sejak masa purba telah menjadi hunian manusia. Tetapi jika dipertanyakan kapan wilayah Pasuruan sebagai tempat hunian masyarakat, maka jawabannya harus histories. Sejarah memerlukan sumber tertulis yang berupa dokumen baik prasasti, piagam, naskah kesusastraan. Mengenai awal mula pemukiman di Pasuruan paling tidak ada dua jenis. Pertama, hunian awal (tentu saja dengan pemerintahannya) suatu tempat. Yang kedua ialah waktu adanya pemerintahan, misalnya hari jadi suatu kabupaten, hari jadi suatu kota. Penelusuran Sejarah Pasuruan yang terpaparkan dalam buku ini difokuskan pada jenis yang pertama yaitu tentang hari jadi hunian awal di Pasuruan. A. Sumber Prasasti Ada beberapa nama tempat yang disebut oleh prasasti dan dapat ditafsirkan dan sepadan dengan toponim masa sekarang, meskipun sering ucapannya sudah berubah. Ada 4 (empat) prasasti, dua diantaranya dikeluarkan oleh Mpu Sindok, yang berkaitan dengan toponim di wilayah Pasuruan ialah :

- Prasasti Gulunggulung,

- Prasasti Cunggrang,

Angka tahun bergaya Kediri,

prasasti Pamintihan. 1. Prasasti Gulung-gulungUnsur-unsur penanggalan dari prasasti Gulung-gulung yang dikeluarkan oleh Raja Sindok sebagai berikut:

Swasti caka warsatita 851 baicaka masa tithi nawami cu klapaksa...

Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 (bulan) Baicaka, tanggal 9 paro terang...

Ca wara purwaphalguninaksatra yani dewata ayusman yoga irika rakryan hujung pamaduraloka.

Artinya: (hari yang bersikles 7) Sabtu, perbintangan: Purwwaphalguni, dewanya; Yini, yoganya: Ayusman, ketika itu Rakryan Hujung pu Maduraloka.

 Ranjana manambah I cri maharaja...

Artinya: Ranjana menghadap kepada cri Maharaja...Unsur-unsur penanggalan tahun caka itu dapat disepadankan dengan unsur-unsur penanggalan nasional (masehi). Unsur-unsur penanggalan itu bertepatan dengan tanggal 20-IV-929 M (20 April 929 M). Isi prasasti Gulung-gulung adalah penetapan perdikan sawah di desa Gulung-gulung dengan besar pajak 7 su .dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga ada tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa), di Batwan, di Curu, di Ergilang dan di Gapuk, masing-masing harus memberi pisunggung apabila di sang hyang prasada yang letaknya di Himad diadakan upacara, . ...muang hana sima putraswa I batwan muang i curu Artinya: Ada perdikan utraswa di Batwan dan di Curu. I yair gilang I gapuk I mbang paknaya mangasea I sang hyang prasada I himad Artinya : di Ergilang, di Gapuk, di mBang, perintahnya supaya memberikan pisungsung kepada Sang Hyang Prasada di Himad. Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena ia di dalam buku Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruan; Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang (Nag. 20;1) Hai Sidomulto mengatakan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km kearah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, maka dapat dikatakan bahwa pada 20-IV-920M (atau sebelumnya) di Gapuk wilayah Pasuruhan telah ada hunian yang teratur, bahkan daerah itu telah menjadi daerah perdikan khusus. 2.

 Prasasti Cunggrang Sumber prasasti yang sangat penting untuk menelusuri hunian lebih lanjut di wilayah Pasuruhan ialah prasasti Cunggrang. Apalagi prasasti Cunggrang (prasasti batu) masih in situ atau ditempat semula yaitu di Desa Suci, Kab. Pasuruhan. Prasasti ini disebut prasasti Cunggrang I bertahun 851 C. Tulisan di sisi depan tinggal seperdua bagian atas, sedangkan di bagian bawahnya dan sisi belakang tulisannya sudah aus semua . Untung ada prasasti Cunggrang II, merupakan duplikat (tuladan) prasasti Cunggrang I. Sehingga kekurangan berita dari prasasti Cunggrang I dapat diisi oleh prasasti Cunggrang II . Unsur-unsur penanggalan prasasti Cunggrang sebagai berikut:

(Swasti caka) warsatita 851 asujimasa (tithi dwadaci cukla) paksa tu(ng), Pa, Cu (wara Satabbisanaksa) tra. Ba (runa dewata. Gandayoga irika di)wasa

Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 bulan Asuji tanggal 12 bagian bulan terang (hari yang bersikles enam) atunglai, (hari yang bersikles lima) pahing, (hari yang bersikles tujuh) Selasa, naksastra; Satabhisa, dewata: Barona, yoga: Gandha pada saat itu.

ni ajna maharaja... Artinya : Perintah Sri Maharaja ... Unsur-unsur penanggalan prasasti Cunggrang (I dan II) sepadan dengan penanggalan nasional ialah 18-IX-929M (18 September 929M) Desa Cunggrang termasuk wilayah Bawang di bawah pemerintahan Wahuta Wungkal dijadilan tanah perdikan untuk pertapaan di Pawitra dan prasada silunglung sang siddha dewata rakryan Bawang ayah rakryan binihaji sri prameswari dyah kbi. Tugas penduduk yang daerahnya dijadikan perdikan ialah memerlihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra.

Dari isi prasasti itu, ada dua nama tempat yang perlu mendapat perhatian yaitu Cunggrang dan Pawitra. Mengingat prasasti Cunggrang I terbuat dari batu (berukuran relative besar dan berat) maka kemungkinan kecil bergeser jauh dari tempat semula.

Oleh karena itu wilayah Cunggrang tentunya tidak jauh dari tempat prasasti ditemukan (di Desa Suci sekarang), Nama Cunggrang terdapat juga di dalam Nagarakertagama sebagai berikut: Warna I sah nira rin jajawa rin, padameyan ikan dinunun, Mande cungran apet kalanon numabas in wanadealnon Darmma karsyan I parcwanin acala pawitra inaran Ramya nika panunan, lurahlurah bhasa kbidun (Nag. 58) Artinya : Selesai berhenti di Jawi, meneruskan perjalanan ke Padameyan Istirahat di cunggrang untuk menikmati panorama desa dan hutan yang indah Pertapaan di lereng gunung Pawitra yang didatangi Keindahan lereng-lereng itu diikat dalam bhasa dan kidung Tentang Pademeyan dapat diidentifikasi dengan Kedamaian yang terletak di sebelah utara Kapulungan. Satu kilometer dari desa Kedamaian ditemukan reruntuhan bangunan candi desa Keboireng.

Pawitra adalah sebagai dharma lepas karesyan (Nag.78:1). Dari segi linguis pawitra (bhs Sansekerta) berarti alat pembersih yang dapat menghilangkan kleca (cacat, dosa, noda), jadi yang mempunyai kekuatan untuk membersihkan atau mencapai sesuatu yang bersih, murni, bebas dari bahaya, keramat, suci atau kudus. Pawitra memang terkenal sebagai nama lama Gunung Penanggungan. Di Pawitra terdapat bangunan pertapaan (sang hyang dharmmacrama ing pawitra) bangunan pemandian (sang hyang tirtha panenran ing pawitra).3. Prasasti PaminthihanPrasasti Paminthihan yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Dyah Suraprabhawa tahun 1395 C sepadan dengan 14 - V - 1473 (14 April 1473) menyebut pangasta desa (delapan desa tepi siring) perdikan Paminthihan. Delapan nama desa dari unsure (mengikuti jarum jam) ialah : Plangpuncu, Gegidah, Dampak, Madawih, Gempol, Balanger, dan Kalaban.

Meskipun belum banyak data yang mendukungnya kiranya Gempol yang disebut Prasasti Paminthihan sama dengan Gempol masa sekarang. Survey Balai Arkeologi Jogjakarta tanggal 14 Nopember 2001 menemukan sebuah prasasti pendek di dukuh Pakan, Kel. Jembrung. Kec. Gempol, Kab. Pasuruan. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya quadrat (gaya tulisan Kediri), terbaca 957 C=1035M.B. Sumber NegarakertagamaPada abad XIV M, Pasuruan telah merupakan hunian padat penduduk tersebar di beberapa desa atau dusun (thani) dan telah berpemerintahan secara teratur. Raja Hayam Wuruk ketika mengadakan perjalanan mengunjungi wilayahnya dua kali melewati Pasuruan. Waktu berangkat akan menuju Lumajang, Hayam Wuruk mengunjungi Gapuk, Ganten, Poh, Capakan, Kalampitan, Umbang, Kuran, We Petang, Pancar, Mungguh, Tunggalis dan Pabayeman .

Diantara nama tempat sebagian sudah dapat diidentifikasi. Hadimulyono dalam tulisan lepas mengidentifikasi nama-nama tempat itu adalah: Gapuk : Dusun Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Poh : Rapoh (?) terletak 1.5 km kearah barat daya dari Winongan, Papoh (?) terletak 5 km kearah barat daya dari Winongan. Capahan : Pemandian kuno di Banyubiru dari Winongan 2 km ke arah tenggara. Kuran : Kurban (?) terletak 1.5 km kearah barat laut Winongan. Lumbang : terletak di dekat Winongan, 9 km kearah barat daya Tunggalis :Tenggilisrejo, 4 km kearah barat Winongan. Waktu pulang dari Lumajang, Hayam Wuruk setelah meninggalkan Baremi masuk Pasuruhan mengarah ke selatan menuju Kapulungan, Kapanan, Andoh, Wawang, Kedung Pluk dan Hambal. Sedangkan Prapanca memisahkan diri dari rombongan menuju Darbaru .Nama Pasuruan Kita mengetahui bahwa semua barang baik yang bersifat konkrit maupun bersifat abstrak selalu diberi nama, dalam hal ini termasuk tempat hunian maupun tempat yang tidak dihuni (dusun,desa,hutan,dst) Banyak cara orang memberi nama pada suatu tempat, ada yang diambilkan dari unsur nama tumbuh-tumbuhan (flora) misalnya: Pohjentrek, Pasuruan, Puspo, Kepuhrejo.

Ada yang diambilkan dari unsur binatang (fauna) misalnya: Keboireng, Gununggangsir. Ada pula yang diambilkan dari unsur alam, harapan, maupun unsur kepercayaan misalnya: Wonorejo, Banyubiru, Ngerong, Sukorejo, Suci, Pawitra. Setiap nama tentu mempunyai makna, paling tidak nama mempunyai dua makna yaitu Makna Tanda dan Makna Simbolis. Karena setiap tempat diberi nama, maka akan mudah membedakan antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana rancunya jika setiap tempat tidak diberi nama sebagai tanda. Kecuali nama sebagai tanda, nama juga mengandung makna simbolis. Makna simbolis pada nama dapat dikaitkan dengan sejarah (historis) misalnya: Purwodadi, Rejoso, Purwosari. Atau dikaitkan dengan harapan tertentu misalnya: Sukorejo, Wonorejo, Kejayan. Makna simbolis dapat dihubungkan dengan kepercayaan misalnya: Sang Hyang Dammapartapan I pawitra, Sang Hyang Tirtha Pancuran Pawitra.

Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan secara tertulis disebut dalam buku Nagara Kertagama. Tahun I daton nire pasuruhan manimpan anidul ri kapananan, anulya atut damargga madulur tikan ratha daton rin andoh wawan, muah I keduplukh lawan I hambal antya nikan pradecenitun,... Artinya: Sungguh setelah sampai di Pasuruan, ia membelok kearah selatan Kapananan, kemudian mengikuti jalan utama semua kereta bersama-sama memasuki Andoh Wawang dan Hambal, semua desa (yang dikunjungi) selalu diperhatikan. Dalam buku tulisan orang Belanda karena dialek dan ejaan tulisannya maka Pasuruan ditulis Passourrouang, Pasoeroeang atau Pasoeroean. Sekarang dari kata apa atau mengapa tempat ini diberi nama Pasuruan.

Dari segi kebahasaan (linguistik) kata Pasuruan dapat diurai menjadi pa - suruh - an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. Suruh (bahasa Jawa baru) atau sirih (bahasa Indonesia) bahasa Jawa kunonya sereh . Mengunyah sirih sangat terkenal di Nusantara, dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Memang sekarang tradisi mengunyah sirih bagi kaum muda sudah jarang dilakukan, tetapi bagi kaum tua di pedesaan masih banyak yang mengunyah sirih. Mengunyah sirih mempunyai makna simbolis yaitu persaudaraan dalam interaksi sosial. Sehingga pada waktu dulu jika kedatangan tamu tentu disambut dengan puan berisi sirih lengkap dengan kapur, gambir, dan buah pinangnya. Sampai sekarang sirih masih dipergunakan pada saat panggih temanten sebagai sadak (lempar-lemparan sirih yang dilakukan mempelai pria dan wanita).

 

Demikian terkenalnya daun sirih di Nusantara baik masa lalu maupun sekarang. Sereh dapat juga berarti perintah, dalam kesusastraan Jawa Kuno itu sering dipergunakan . Jadi arti sereh sepadan dengan arti suruh dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Yang jadi masalah ialah apakah pada masa itu (abad 10 M) bahasa Melayu kuno telah berkembang di pulau Jawa. 7 bahasa Melayu kuno terkenal di Sumatera (prasasti-prasasti dari kerajaan Sriwijaya). Di Jawa pun ternyata ditemukan beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno yaitu prasasti Payaman (ditemukan di Bukateja Purbalingga, Jawa Tengah), Prasasti Dewa Drabya (ditemukan di Dieng), prasasti Manjuarigreha 714 C = 2-XI-792 (di Candi Sewu).

Di wilayah Selendra, prasasti Sanghyang Wintang (Gandasuli II) dan prasasti Dang pu Hawang Glis (Gandasuli I) 749 C = 2-XI-792 M. Dari beberapa prasasti yang berbahasa Melayu yang bermasa sekitar abad VIII - IX M, jelas bahwa bahasa Melayu kuno berkembang sampai Pilipina Selatan (prasasti 822 C = 900M) Dari kenyataan demikian. Maka dapat disimpulkan bahwa sereh yang berarti perintah (Jawa kuno) sepadan dengan arti suruh (bahasa Melayu kuno, Indonesia). Jadi Paserehan atau Pasuruhan adalah tempat perintah atau pemerintahan, yaitu pemerintahan yang melingkupi wilayah Pasuruhan. Pada konteks yang lain sejarah Kabupaten Pasuruan memang sangat unik dari segi nama Pasuruan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti dengan kata Pasuruhan dan Kakawin Sorandaka menyebutkan ada nama Sora yang daerahnya disebut dalam kitab tersebut disebut dengan Pasoraan yang berbatasan dengan daerah yang bernama Japan dan memiliki Syah Bandar yang bernama Banger (dalam catatan Tiongkok disebut Bang-il), oleh Belanda merujuk sebuah buku yaitu Beknopte Encyclopedie Van Nedelansch-Indie buah karya T.J. Bezemer, 1921 disebut dengan Pasoeroean.

Secara umum kita mengetahui bahwa rangkaian lintasan sejarah di Indonesia berjalan dari satu masa ke masa berikutnya dengan penuh dinamika demikian halnya Pasuruan. Dalam berbagai sumber disebutkan banyak daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pasuruan menjadi saksi sejarah pada zamannya, hal ini menunjukkan eksistensi Pasuruan sebagai daerah penting pada masa itu sebagai contoh adalah disebutkannya beberapa daerah.Pandakan atau Pandaan Pandakan berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing, merupakan daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79. Sebagai berikut, ...Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Sri Kertanegara; Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya.

Kertenegara menjadi raja, bernama Batara Siwabudha. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka (Nangkajajar), bernama Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi adipati di Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura sebelah timur. Ada patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Empu Raganata ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara; karenanya itu Mpu Raganata meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo Tengah sang A Panji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana (musafir) bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, datangnya di Tumapel sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan berhari-hari; raja Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong, raja di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu; ia berteman dengan raja Jayakatong; Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura mengadakan hubungan dan berkirim utusan.

Demikian juga raja Jayakatong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi surat; "Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya; ada harimau, tetapi tak bergigi". Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tidak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.

 Batara Siwa-Buda senantiasa minum-minuman keras diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jayakatong demikian terhadap kami, bukankah ia telah baik dengan kami" Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyakkapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa larilah orang-orang Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya.

Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang datang dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha Kebomundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Batara Siwa-Buda sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara tersebut, diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar diburu oleh Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah miring, maksud Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas ditenggala, dada Kebomundarang sampai mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil berkata; "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini." Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat dari kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba-hambanya, masing-masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gadjah. Sora segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. " Raden Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang-orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang-orang Daha itu larinya.

Batara Siwa-Budha mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya; demikianlah maksud Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya. Didapatilah puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata; "Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: " Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini." Jawab Raden Wijaya." Justeru karena itu". Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai-anai menyentuh pelita. "Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu Grati). Orang-orangnya ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk berperang menghentikan orang Daha. Gadjahpagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: "Gadjahpagon, masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama mengamuk. " Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan-lahan. "Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar seperti ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua, ganti-berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya.

Setelah putus pembicaraannya, semua bersama-sama berkata: "Tuanku, sembah hamba-hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku ayng masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu." Jawab Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama: "Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping: "Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi". Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang; Gadjahpagon ini tak dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu," Kata orang PANDAKAN: "Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gadjahpagon didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di PANDAKAN, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap-tiap hari".

Grati/Telaga Pager Di ujung timur tlatah Jawa Timur ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung timur Jawa, dikisahkan terjadi pabaratan antara orang Bali dan orang Jawa. Yang termasuk sejarah tlatah ini adalah kisah mengenai danau Grati yang sering dituturkan kembali pada kakawin Pararaton diatas dengan nama Telaga pager.Bangil/Banger/Bengal/Bang-il Menurut catatan Tiongkok ada kabar berita dari Raja Ta-Cheh (Mu'awiyah bin Abu Sofyan) mengirimkan utusan untuk menyelidiki kerajaan Kalingga (674/675M) yang mendarat di Syah Bandar yang bernama Banger/ Bang-il. Lalu dalam kakawin Harsawijaya dimana R. Wijaya berangkat ke pelabuhan Banger dekat Rembang yang menuju Sungeneb (Sumenep Madura).Japan/Japanan Japan atau Japanan dalam masa sekarang merupakan daerah yang strategis pada masa lalu, berikut cuplikan pada beberapa fakta sejarah, Nagarakertagama (1359 M) mencatat peristiwa perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang dengan menyinggahi berbagai tempat di Jawa Timur.

Waktu berangkat dari Majapahit disebutkan dalam syair 17 bait 7 baris satu dan dua kemudian syair 17 bait 10 baris I sebagai berikut: Ndan ring caka cacangka naga rawi bhadrapadamasa ri bambwa ning wulan, sang criajasanagara mahasahas ri Lumajang angitun sakhendriyan, tambening kahawan winnarna ri japan kuti-kuti hana sakrbah. Terjemahannya: Tahun C 1281 (1359 M) bulan Badrapa (Agustus / September) bulan paro terang mulai tampak. Baginda Rajasanagara mengadakan lawatan ke Lumajang, memperhatikan segala yang dilaluinya. Pertama yang disinggahi adalah Japan dengan asrama dan candi-candi dalam keadaan rusak. Dan waktu kembalinya dari perlawatan syair 58 bait 2 baris 3 menyebutkan: Praty amegil ri Japan nrpati pinapag ing balangghya datang, Artinya: Tiba diperistirahatan Japan, barisan tentara datang menjemput baginda. Dalam seri terjemahan Javanologi hasil kerjasama Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan perwakilan Koninklijk Institut Voor Taal, Land, en Volkenkunde, de Graaf banyak mengutip penuturan sejarah di Jawa dari Babad Tanah Jawi dan lain-lain.

Diantaranya yang menyangkut kawasan daerah Japan adalah sebagai berikut:Jaman Pemerintahan Panembahan Senopati Pada tahun 1589 M sudah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Raja-raja Jawa Timur dibawah pimpinan Pangeran Surabaya dan Senopati Mataram berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan 30.Jaman Pemerintahan Sultan Agung Turunkan serangan kedua dilakukan oleh Adipati Japan berakhir dengan kekalahan total bagi pihak sekutu (persekutuan raja-raja Jawa Timur). Adipati Japan gugur setelah mengadakan perlawanan kuat dan atas perintah Raja Mataram yang memuji atas kepahlawanannya, ia dimakamkan di Butuh di sebelah raja Pajang. Kematian dan pemakaman Adipati Japan pada Babad Tanah Jawi tertulis candra sengkala: Resi Guna Pancaning Rat (Orang bijaksana adalah kecerdasan lima dunia) yang berangka 7351 atau tahun Jawa 1537 atau 1615 Masehi 31. Mengenai pertempurannya sendiri, Jan Pz. Coen menulis pada 31 Maret 1616 M di Banten berdasarkan berita dari Jepara yang diterimanya pada 1 Pebruari 1616 M, menyatakan bahwa yang disebut Mataram dalam satu pertempuran telah menaklukan semua lawan, yaitu Raja-raja dari timur Jawa. Juga penentuan tanggal, berdasarkan keterangan bahwa surat tentang pertempuran ini bertanggal 1 Pebruari 1616 M, maka pertempuran tersebut tidak mungkin terjadi jauh lebih dahulu, jadi kira-kira bulan Januari 1616 M.

Dalam hal ini keraguan sumber-sumber Jawa yang menyebut tahun 1615 M dan 1616 M dapat dimengerti sepenuhnya. Dalam tulisan SEKITAR JOGJAKARTA 1755M - 1825M, dinyatakan bahwa Japan dipandang dari sudut Ilmu Pemerintahan (Staat Skundig) tampak menduduki posisi kunci meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Diantaranya dinyatakan: Dengan


Demografi

Kabupaten Pasuruan memiliki keanekaragaman penduduk yang sebagian besar adalah suku Jawa, selain itu bisa juga ditemui suku-suku lain seperti suku Madura serta masyarakat keturunan Tionghoa-Indonesia, Arab dan India. Di Pasuruan juga masih dapat ditemui satu suku dengan sosial budaya khas, yaitu masyarakat Tengger yang hidup di kawasan Pegunungan Tengger Kecamatan Tosari. Sistem sosial dan religi masyarakat Tengger ini sangat unik dan khas dengan berbagai aktivitasnya seperti perayaan Hari Raya Kasada dan Hari Raya Karo yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai religius dan sejarah.
Kota Pasuruan terletak ditengah – tengah Kabupaten Pasuruan, tebentang pada 7o33’ Lintang Selatan dan 112o 28’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 36,58 m2. Lokasi Kota Pasuruan yang berada di garis khatulistiwa mempunyai perubahan iklim sebanyak dua jenis, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Bulan Oktober sampai April merupakan musim penghujan, sedangkan bulan Mei sampai September merupakan musim kemarau.

Pembagian administratif

Kabupaten Pasuruan terdiri atas 24 kecamatan, yang dibagi lagi atas 341 desa dan 24 kelurahan.
Kota Pasuruan terdiri dari tiga kecamatan 34 kelurahan.

Pemerintahan

Kabupaten Pasuruan dipimpin oleh bupati H. Dade Angga, SIP. dan wakil bupati Eddy Paripurna (2008-2013, dilantik 9 Juli). Pasangan yang diajukan PDI-P dan 10 partai nonparlemen ini menggantikan Jusbakir Aldjufri dan Muzammil Syafi’i (2003-2008). Sebelumnya, Dade pernah menjadi Bupati Pasuruan pada periode 1998-2003.[1] DPRD Pasuruan beranggotakan 49 orang.[2]
Kota Pasuruan dipimpin oleh Walikota H. Aminurokhman, SE, MM. dan wakil Walikota H. Pudjo Basuki.

Geografi

Bagian utara wilayah Kabupaten Pasuruan merupakan dataran rendah. Bagian barat daya merupakan pegunungan, dengan puncaknya Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Bagian tenggara adalah bagian dari Pegunungan Tengger, dengan puncaknya Gunung Bromo.
Wilayah Kota Pasuruan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Rejoso Kabupaten Pasuruan sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kraton dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan. Luas wilayah Kota Pasuruan 35,92 Km2.

Transportasi

Wilayah Kabupaten dan Kota Pasuruan dilintasi jalur pantura Surabaya-Banyuwangi. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas timur Pulau Jawa serta menuju Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri dan Kertosono, di Stasiun Bangil terdapat persimpangan jalur tersebut. Bagian barat wilayah Kabupaten Pasuruan terdapat jalur utama Surabaya-Malang, serta ruas jalan tol Surabaya-Gempol yang sementara terputus akibat luapan lumpur lapindo. Gempol merupakan kota persimpangan jalur Surabaya-Malang dengan jalur menuju Mojokerto/Madiun.

Industri

Kabupaten ini memiliki salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Industri utama di kabupaten ini antara lain Sampoerna di Pandaan, Matsushita (Panasonic), Cheil Jedang Indonesia Rejoso dan PT. Nestle Indonesia di Kejayan.

Pariwisata

Bagian barat wilayah kabupaten ini (perbatasan dengan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Malang) adalah dataran tinggi yang cukup sejuk, dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama Jawa Timur. Kawasan tersebut terdapat villa-villa peristirahatan, dan sejumlah perumahan elit. Kawasan pegunungan ini juga sering digunakan sebagai tempat berkemah. Di antara obyek wisata andalan Pasuruan adalah Taman Safari Indonesia di Prigen dan Kebun Raya Purwodadi. Sebelah selatan Kota Pasuruan terdapat Gunung Bromo, salah satu tujuan wisata utama Jawa Timur.
Kota pasuruan mempunyai berbagai macam tempat wisata diantaranya: Banyu biru Serta juga ada Taman Kota dan Gedung P3GI dan kawasan Pelabuhan.

Kuliner Khas

·         Bipang beras
·         Klepon, cenil dan Lupis Gempol
·         Kupang Lontong khas Kraton
·         Lumpia Basah/Goreng
·         Nasi Kuning
·         Nasi Punel Bangil
·         Onde-Onde & Lumpia Basah/Goreng
·         Rawon & Sate Komo
·         Rawon Nguling
·         Sate kerang Bangil
·         Tahu Petis
·         Ting Ting Jahe
·         Warung Kopi
Read More

Sejarah Paskibraka


Yogyakarta Tempo Dulu
Peristiwa itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pertama. Presiden Soekarno memanggil ajudannya, Mayor Laut M Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara peringatan Detik – Detik proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946. Di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika sedang berpikir keras menyusun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat di benak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, menurutnya wajib tetap dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. “simbol – simbol apa yang bisa digunakan?” pikirnya.
Pilihannya lalu jatuh pada pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengibaran lambing Negara itu sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia menunjuk lima orang pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima orang itu, dalam pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila.
Salah seorang pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1946 itu adalah Titiek Dewi, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta. Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke – 4 pada 17 Agustus 1948, pengibaran oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap dilaksanakan.
Sejak pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta pada tahun 1950, regu – regu pengibar dibentuk dan diatur oleh rumah tangga Kepresidenan RI sampai tahun 1966. Namun, Mutahar yang mendapat “kado ultah ke – 49” ketika ditunjuk menjadi dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) di Dep. P&K tanggal 5 Agustus 1966, kembali teringat pada gagasannya tahun 1946.
Dari sanalah, Mutahar kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian diberi nama “Latihan Pandu Ibu Indonesia BerPancasila”. Latihan itu sempat diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba Pasukan Penggerek Bendera Pusaka dimasukkan dalam latihan itu tahun 1967 dengan peserta terdiri dari pramuka penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta.
Latihan itu mempunyai kekhasan, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang menggunakan pendekatan sistem “KeluargaBahagia” dan diterapkan secara nyata dalam konsep “desa bahagia”. Di desa itu, para peserta latihan (warga desa) diajak berperan serta dalam menghayati kehidupan sehari – hari yang menggambarkan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Detak kehidupan Desa Bahagia dimulai dari penerimaan warga desa, pemilihan lurah, perangkat desa dan musyawarah desa. Setelah di tengah – tengahnya diisi dengan kegiatan fisik dan bimbingan mental, diakhir latihan diadakan secara unik, penuh semangat kekeluargaan, demokratis dan penuh keriang – gembiraan.
Saat Ditjen Udaka difusikan dengan Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda, lalu berubah lagi menjadi Ditjen Pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga (Diklusepora), salah satu direktorat dibawahnya adalah Direktorat Pembina Generasi Muda. Direktorat inilah yang kemudian meneruskan penyelenggaraan latihan dengan nama “Gladian Sentra Nasional”.

Cikal Bakal Paskibraka
Tahun 1957, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Akajan itu, bagi Mutahar seperti “mendapat durian runtuh” karena berarti ia bisa meneruskan gagasannya memebentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh Indonesia.
Dengan pengalaman militer dan penyelamatan bendera pusaka, Mutahar lalu menyusun formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok 17/ pengiring (pemandu), kelompok 8 / pembawa (inti) dan kelompok 45 / pengawal. Formasi itu juga menggambarkan tanggal proklamsi Kemerdekaan 17 – 8 – 45.
Karena situasi yang belum memungkinkan, tahun 1967 Mutahar hanya bisa melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan telah menjadi anggota Pandu / pramuka sebagai anggota pasukan. Niat untuk mengikutsertakan mahasiswa AKABRI (menggambarkan generasi muda ABRI sebagai pengawal) di kelompok 45 tidak terlaksana, karena saat itu sedang libur dan ada kendala soal transportasi untuk mendatangkan mereka dari Magelang ke Jakarta.
Usul mengajak pasukan khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, Marinir dan Brimob) juga sulit, sehingga akhirnya diputuskan untuk mengambilnya dari Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) yang mudah dihubungi, apalagi mereka memang bertugas di Istana Merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, Mutahar hanya bisa menangis haru bercampur bahagia, ketika anggota “Penggerak Bendera” pertama terwujud dengan anggota pasukan para pemuda utusan daerah. Tapi, karena hanya ada 23 propinsi yang bisa mengirimkan utusan, sebagian anggota paskibraka 1968 masih diambil dari eks anggota pasukan tahun 1967. Tahun itu juga, merupakan kali terakhir bendera pusaka asli dikibarkan di tiang 17, mulai tahun 1969 dan seterusnya bendera pusaka asli hanya dibawa mendampingi duplikat yang dikibarkan setiap tanggal 17 Agustus.
Meski sudah diupayakan agar setiap daerah dapat mengirimkan utusan, sampai tahun 1969 niat itu tetap belum bisa terpenuhi. Paskibraka 1969 masih harus dilengkapi dengan beberapa eks Pakibraka 1968 untuk menggenapkan jumlah tiap kelompok dan informasi. Tahun 1970, barulah seluruh anggota pasukan berasal dari utusan daerah.
Sebutan “Pengerek Bendera” berlaku dari tahun 1967 sampai tahun 1972. Pada tahun 1973, Direktur Pembinaan Generasi Muda Drs Idik Sulaeman melontarkan sebuah akronim yang kemudian dipakai sampai sekarang. Nama itu adalah PASKIBRAKA. Kata PAS berasal dari kata pasukan, KIB berasal dari kibar, RA dari kata bendera dan KA berasal dari kata pusaka.
Seluruh anggota Paskibraka dibagi menjadi dua tim yang bertugas pagi hari dan sore hari. Jika dihitung seluruh propinsi mengirimkan dua utusan, maka jumlahnya menjadi 52 orang. Dengan 25 orang bertugas pagi, 25 orang bertugas sore (kelompok 17 dan 8), dua orang lagi dipersiapkan sebagai pembawa bendera pusaka dari ruang dalam Istana Merdeka ke podium tempat inspektur Upacara (dalam hal ini Presiden).
Hal itu berlangsung sampai tahun 1976, karena tahun 1977 jumlah anggota paskibraka bertambah menjadi 54 orang dengan berintegrasinya Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1976. Atas kebijaksanaan bersama dan niat untuk tidak membeda – bedakan tugas dan tanggung jawab, seluruh anggota Paskibraka kini ikut bertugas dalam pengibaran.
Tanpa mengabaikan gagasan awal, kelompok 17 yang tadinya benar – benar berjumlah 17 sekarang berjumlah 19 orang. Atas pertimbangan yang matang, penyebutan nama kelompok 17 dianggap sudah sukup menggambarkan, karena di sisi lain ada kepentingan Negara yang  juga wajib diemban.



Falsafah Paskibraka
Tradisi pengibaran bendera pusaka, baik metode latihan dan pembinaan, baris – berbaris, formasi maupun olah gerak pengibaran yang dilaksanakan tahun 1968 sampai sekarang tetap dipertahankan. Orisinalitas itu merupakan metode “trade mark” sendiri bagi paskibraka, sehingga dalam kesempatan – kesempatan resmi ketika mengikuti latihan {sekitar sebulan dari 27 Juli sampai 23 Agustus), mereka selalu diperkenalkan dengan sebutan “Pemuda Teladan” (bukan sekedar “Pelajar Teladan”). Sebutan lain untuk nereka adalah ADI yang artinya istimewa dan berprestasi.
Para pemuda yang terpilih sebagai para Adi Paskibraka tak cukup hanya seorang siswa SLTA kelas 1 atau kelas 2 yang mempunyai prestasi akademis baik. Mereka juga wajib memiliki fisik yang sempurna (tidak cacat / berkacamata, tinggi badan putra minimal 170 cm dan putri 160 cm), aktif berorganisasi dan melakukan berbagai kegiatan pelajar / remaja, dan merupakan yang terbaik dari sekian banyak pemuda di propinsinya (ditentukan melalui seleksi).
Anggota paskibraka tidak diambil dari organisasi kepemudaan dengan berbagai pertimbangan. Mereka akan berlatih dan bergerak di lingkungan Istana Kepresidenan selama lebih kurang tiga minggu dan membutuhkan pengamanan yang dapat dipertanggungjawabkan. Para siswa yang masih aktif akan lebih menjamin hal itu. Itulah sebabnya, ketika di tahun 70-an ada sebuah organisasi kepemudaan yang mengajukan permohonan untuk menggantikan para siswa SMTA menjadi Paskibraka, permohonan itu ditolak oleh pihak Istana.
Alasan kuat lainnya, siswa SMTA dipandang belum terpengaruh oleh masukan – masukan politis. Mereka masih murni dan mudah dibentuk watak dan pribadinya, rasa berbangsa dan bernegaranya, serta disiplin pribadi dan kelompoknya.
Selain itu, menghadirkan para pemuda yang masih pelajar dari seluruh Indonesia juga memiliki falsafah yang dalam. Menyerahkan tugas mulia mengibarkan bendera pusaka kepada tunas bangsa dari seluruh daerah. Bermakna kemerdekaan Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh bangsa.
Kalau bukan karena falsafah itu, bisa saja anggota paskibraka diambil dari para pemuda di Jakarta, karena berbagai suku ada di  Ibukota. Pemerintah tidak perlu berletih – lelah mendatangkan mereka, yang tentu saja menimbulkan risiko biaya tidak kecil. Namun, semangat kesatuan dan persatuan, jiwa kebangsaan, rasa bangga dan senasib sepenanggungan tetap mempunyai arti tersendiri.
Para Purna Paskibraka (mereka yang selesai menjalankan tugas mengibarkan bendera pusaka) diharapkan akan membawa dan menularkan pengalaman yang diperoleh kepada teman – teman sebaya di daerahnya, kepada keluarga di rumah dan masyarakat di lingkungannya.
Seperti juga falsafah “desa bahagia”, setiap purna paskibraka kelak akan membawa perubahan di keluarga dan lingkungan. Dari sebuah keluarga bahagia akan tercipta lingkungan yang bahagia. Dari lingkungan yang bahagia akan tercipta desa yang bahagia, kecamatan yang bahagia, kabupaten / kotamadya yang bahagia, propinsi yang bahagia. Dan, pada gilirannya akan tercipta pula Negara yang bahagia.
Sampai tahun 1944, dengan selesainya 27 pasukan yang mengibarkan bendera pusaka, jumlah purna paskibraka yang tersebar di seluruh Indonesia berjumlah 1.384 orang. Mereka kini tersebar dan menjalani berbagai profesi dan menduduki berbagai jabatan. Para perintis dan pemrakarsa paskibraka yakin, mereka akan mengaplikasikan ke-Adi-annya dalam kehidupan sehari – hari, minimal dalam bentuk paling sederhana, di lingkungan keluarga tersendiri.
Read More

© PASMANEBA JAYA, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena