Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara
Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan
ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang
diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta,
istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas",
diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu
sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe,
berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab
para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang
dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia
dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah
(Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh
Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang
beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan
Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok
semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia
Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara
kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies,
Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan
Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan
Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah
pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk
menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal
dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk
menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga
"Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti
pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah
menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah
majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola
oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana
hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan
diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman
66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan,
Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka
dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam
artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan
Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab
nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos"
dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau
"Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama
Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab
Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga
digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing
untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di
seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman
252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian
Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya,
Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab
istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan
membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia. [1]
Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan
Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah
julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di
dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi
"Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung
"Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni
"Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia"
agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama
resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama
"Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun
pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan
geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di
Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku
Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau
Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil
penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan
sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah
"Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu,
antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918.
Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari
tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah
"Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika
dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk
"Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch
("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan
itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang
Indonesia").
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama
"Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi
itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga
nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas
suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta,
seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam,
organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan
datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut
"Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan
Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis
Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925
Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
"Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai
nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia
tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota
Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin,
Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada
Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama
"Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret
1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945,
menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Kabupaten Pasuruan, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Ibukotanya adalah Pasuruan. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo
dan Laut Jawa di utara, Kabupaten Probolinggo di barat, Kabupaten Malang di selatan,
Kota Batu di barat daya, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Kabupaten ini
dikenal sebagai daerah industri dan daerah wisata, termasuk Gunung Bromo.
Kabupaten
Pasuruan memiliki keanekaragaman penduduk yang sebagian besar adalah suku Jawa,
selain itu bisa juga ditemui suku-suku lain seperti suku Madura serta
masyarakat keturunan Tionghoa-Indonesia, Arab dan India. Di Pasuruan juga masih dapat
ditemui satu suku dengan sosial budaya khas, yaitu masyarakat Tengger yang
hidup di kawasan Pegunungan Tengger Kecamatan Tosari. Sistem sosial dan religi
masyarakat Tengger ini sangat unik dan khas dengan berbagai aktivitasnya
seperti perayaan Hari Raya Kasada dan Hari Raya Karo yang di dalamnya banyak
mengandung nilai-nilai religius dan sejarah.
Sejak
tanggal 14 Agustus1950
dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa
dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember1982
Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15
desa.
Pada
tanggal 12 Januari2002
terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34
kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi
perubahan nama dari kotamadya menjadi kota
maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
SEJARAH PASURUAN
PASURUAN adalah kota Bandar kuno. Pada jaman Kerajaan
Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada
masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya
yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar
perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya
yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat
kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan
daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu.
Pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah
Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota
Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan
Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat
itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada
tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih
beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan
adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang
bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari
Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke
Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai
Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada
tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik
(Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di
Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah
dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) himgga meninggal dunia pada tahun 1671 dan
diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan
kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian
yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di
Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan
Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686 Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat
restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke
Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan
sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan
gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati
(1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni
Belanda.
Namun demikian dia masih sempat menjalankan
pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada
rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas
perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda
kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo
untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu
oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga
meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung
Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat
persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan
dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan
sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan
pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian
menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada
tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario
Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai
Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai
Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro.
Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di
Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup
penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah:
Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai
Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung
Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari
selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu
Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya. Pada saat dihadiahkan
Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi
laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal
dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya
menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan
Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan
selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal
sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun
pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan
Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan
ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng
Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809 Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan
oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati
Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30
Januari 1833 dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden
Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario
Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai
Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat
Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai
Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901.
Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918
No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya
Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada
tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan
dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan
status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002,
dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan
UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari
kotamadya menjadi kota
maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
Mengurai Sejarah Asal Usul Kabupaten Pasuruan Pra
Sejarah Jaman prasejarah Indonesia
ialah jaman semasa belum ada keterangan tertulis tentang Indonesia, baik yang ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh bukan bangsa Indonesia.
Sedangkan jaman setelah adanya keterangan tertulis disebut jaman sejarah. Waktu
bermulanya jaman prasejarah Indonesia, ialah sejak adanya jenis manusia tertua
di Indonesia, yaitu Meganthropus Paleo Javanicus, atau manusia besar dari Jawa
jaman kuno yang peninggalannya ditemukan oleh Von Koningswald pada tahun 1941 M
di desa Sangiran, lembah Bengawan Solo Jawa Timur. Kemudian disusul oleh
Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan tegak, yang
peninggalannya ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 M di desa Trinil,
Jawa Timur . Masa hidupnya diperkirakan pada jaman Pleistosen kira-kira pada
tahun 600.000 sebelum Masehi. Sedang berakhirnya jaman prasejarah Indonesia
sejak adanya keterangan tertulis yaitu adanya Yupa-yupa di Kutai Kalimantan
Timur yang bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, yang diperkirakan
berasal dari tahun 400 Masehi. Penghuni ini menurut penyelidikan Von Heine
Geldern dan Prof. H. Kern yang berdasarkan pada perbandingan wilayah dan
penyelidikan bahasa ternyata berasal dari daerah Yunnan di Cina Selatan.
Penyebarannya ke Indonesia
melalui dua jurusan. Jurusan barat melaui Indo Cina, Semenanjung, kemudian
masuk ke Indonesia, yaitu ke Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Kalimantan. Sedang yang jurusan Timur melalui daratan Asia, ke Jepang,
pulau-pulau Taiwan, Filipina, kemudian masuk ke Indonesia melalui Minahasa
terus ke timur . Awal Mula Pemukiman di Pasuruan Setelah masa pra sejarah ini
paling tidak pada sekitar abad 7 M wilayah Pasuruan telah menjadi tempat hunian
masyarakat yang teratur atau berpemerintahan. Temuan fosil manusia di Trinil,
Ngandong, Mojokerto menunjukkan bahwa Jawa sejak masa purba telah menjadi
hunian manusia. Tetapi jika dipertanyakan kapan wilayah Pasuruan sebagai tempat
hunian masyarakat, maka jawabannya harus histories. Sejarah memerlukan sumber
tertulis yang berupa dokumen baik prasasti, piagam, naskah kesusastraan.
Mengenai awal mula pemukiman di Pasuruan paling tidak ada dua jenis. Pertama,
hunian awal (tentu saja dengan pemerintahannya) suatu tempat. Yang kedua ialah
waktu adanya pemerintahan, misalnya hari jadi suatu kabupaten, hari jadi suatu kota. Penelusuran Sejarah
Pasuruan yang terpaparkan dalam buku ini difokuskan pada jenis yang pertama
yaitu tentang hari jadi hunian awal di Pasuruan. A. Sumber Prasasti Ada
beberapa nama tempat yang disebut oleh prasasti dan dapat ditafsirkan dan
sepadan dengan toponim masa sekarang, meskipun sering ucapannya sudah berubah. Ada 4 (empat) prasasti,
dua diantaranya dikeluarkan oleh Mpu Sindok, yang berkaitan dengan toponim di
wilayah Pasuruan ialah :
- Prasasti Gulunggulung,
- Prasasti Cunggrang,
Angka tahun bergaya
Kediri,
prasasti Pamintihan. 1. Prasasti
Gulung-gulungUnsur-unsur penanggalan dari prasasti Gulung-gulung yang
dikeluarkan oleh Raja Sindok sebagai berikut:
Swasti caka warsatita 851 baicaka masa tithi nawami
cu klapaksa...
Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851
(bulan) Baicaka, tanggal 9 paro terang...
Ca wara purwaphalguninaksatra yani dewata ayusman
yoga irika rakryan hujung pamaduraloka.
Artinya: (hari yang bersikles 7) Sabtu,
perbintangan: Purwwaphalguni, dewanya; Yini, yoganya: Ayusman, ketika itu
Rakryan Hujung pu Maduraloka.
Ranjana manambah I cri maharaja...
Artinya: Ranjana menghadap kepada cri
Maharaja...Unsur-unsur penanggalan tahun caka itu dapat disepadankan dengan
unsur-unsur penanggalan nasional (masehi). Unsur-unsur penanggalan itu
bertepatan dengan tanggal 20-IV-929 M (20 April 929 M). Isi prasasti
Gulung-gulung adalah penetapan perdikan sawah di desa Gulung-gulung dengan
besar pajak 7 su .dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad.
Disebut juga ada tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa), di Batwan, di
Curu, di Ergilang dan di Gapuk, masing-masing harus memberi pisunggung apabila
di sang hyang prasada yang letaknya di Himad diadakan upacara, . ...muang hana
sima putraswa I batwan muang i curu Artinya: Ada perdikan utraswa di Batwan dan di Curu. I
yair gilang I gapuk I mbang paknaya mangasea I sang hyang prasada I himad
Artinya : di Ergilang, di Gapuk, di mBang, perintahnya supaya memberikan pisungsung
kepada Sang Hyang Prasada di Himad. Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik
perhatian karena ia di dalam buku Negarakertagama disebut berurutan dengan
toponim yang ada di Pasuruan; Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang
(Nag. 20;1) Hai Sidomulto mengatakan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak
dari Winongan 4 km kearah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, maka
dapat dikatakan bahwa pada 20-IV-920M (atau sebelumnya) di Gapuk wilayah
Pasuruhan telah ada hunian yang teratur, bahkan daerah itu telah menjadi daerah
perdikan khusus. 2.
Prasasti Cunggrang Sumber prasasti yang sangat
penting untuk menelusuri hunian lebih lanjut di wilayah Pasuruhan ialah
prasasti Cunggrang. Apalagi prasasti Cunggrang (prasasti batu) masih in situ atau
ditempat semula yaitu di Desa Suci, Kab. Pasuruhan. Prasasti ini disebut
prasasti Cunggrang I bertahun 851 C. Tulisan di sisi depan tinggal seperdua
bagian atas, sedangkan di bagian bawahnya dan sisi belakang tulisannya sudah
aus semua . Untung ada prasasti Cunggrang II, merupakan duplikat (tuladan)
prasasti Cunggrang I. Sehingga kekurangan berita dari prasasti Cunggrang I
dapat diisi oleh prasasti Cunggrang II . Unsur-unsur penanggalan prasasti
Cunggrang sebagai berikut:
Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851
bulan Asuji tanggal 12 bagian bulan terang (hari yang bersikles enam) atunglai,
(hari yang bersikles lima)
pahing, (hari yang bersikles tujuh) Selasa, naksastra; Satabhisa, dewata:
Barona, yoga: Gandha pada saat itu.
ni ajna
maharaja... Artinya : Perintah Sri Maharaja ... Unsur-unsur penanggalan prasasti
Cunggrang (I dan II) sepadan dengan penanggalan nasional ialah 18-IX-929M (18
September 929M) Desa Cunggrang termasuk wilayah Bawang di bawah pemerintahan
Wahuta Wungkal dijadilan tanah perdikan untuk pertapaan di Pawitra dan prasada
silunglung sang siddha dewata rakryan Bawang ayah rakryan binihaji sri
prameswari dyah kbi. Tugas penduduk yang daerahnya dijadikan perdikan ialah
memerlihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di
Pawitra.
Dari isi prasasti itu, ada dua nama tempat yang
perlu mendapat perhatian yaitu Cunggrang dan Pawitra. Mengingat prasasti
Cunggrang I terbuat dari batu (berukuran relative besar dan berat) maka
kemungkinan kecil bergeser jauh dari tempat semula.
Oleh karena itu wilayah Cunggrang tentunya tidak
jauh dari tempat prasasti ditemukan (di Desa Suci sekarang), Nama Cunggrang
terdapat juga di dalam Nagarakertagama sebagai berikut: Warna I sah nira rin
jajawa rin, padameyan ikan dinunun, Mande cungran apet kalanon numabas in
wanadealnon Darmma karsyan I parcwanin acala pawitra inaran Ramya nika panunan,
lurahlurah bhasa kbidun (Nag. 58) Artinya : Selesai berhenti di Jawi,
meneruskan perjalanan ke Padameyan Istirahat di cunggrang untuk menikmati
panorama desa dan hutan yang indah Pertapaan di lereng gunung Pawitra yang
didatangi Keindahan lereng-lereng itu diikat dalam bhasa dan kidung Tentang
Pademeyan dapat diidentifikasi dengan Kedamaian yang terletak di sebelah utara
Kapulungan. Satu kilometer dari desa Kedamaian ditemukan reruntuhan bangunan
candi desa Keboireng.
Pawitra adalah sebagai dharma lepas karesyan
(Nag.78:1). Dari segi linguis pawitra (bhs Sansekerta) berarti alat pembersih
yang dapat menghilangkan kleca (cacat, dosa, noda), jadi yang mempunyai
kekuatan untuk membersihkan atau mencapai sesuatu yang bersih, murni, bebas
dari bahaya, keramat, suci atau kudus. Pawitra memang terkenal sebagai nama
lama Gunung Penanggungan. Di Pawitra terdapat bangunan pertapaan (sang hyang
dharmmacrama ing pawitra) bangunan pemandian (sang hyang tirtha panenran ing
pawitra).3. Prasasti PaminthihanPrasasti Paminthihan yang dikeluarkan oleh Sri
Maharaja Dyah Suraprabhawa tahun 1395 C sepadan dengan 14 - V - 1473 (14 April
1473) menyebut pangasta desa (delapan desa tepi siring) perdikan Paminthihan.
Delapan nama desa dari unsure (mengikuti jarum jam) ialah : Plangpuncu,
Gegidah, Dampak, Madawih, Gempol, Balanger, dan Kalaban.
Meskipun belum banyak data yang mendukungnya kiranya
Gempol yang disebut Prasasti Paminthihan sama dengan Gempol masa sekarang.
Survey Balai Arkeologi Jogjakarta tanggal 14 Nopember 2001 menemukan sebuah
prasasti pendek di dukuh Pakan, Kel. Jembrung. Kec. Gempol, Kab. Pasuruan.
Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya quadrat (gaya tulisan Kediri),
terbaca 957 C=1035M.B. Sumber NegarakertagamaPada abad XIV M, Pasuruan telah merupakan
hunian padat penduduk tersebar di beberapa desa atau dusun (thani) dan telah
berpemerintahan secara teratur. Raja Hayam Wuruk ketika mengadakan perjalanan
mengunjungi wilayahnya dua kali melewati Pasuruan. Waktu berangkat akan menuju
Lumajang, Hayam Wuruk mengunjungi Gapuk, Ganten, Poh, Capakan, Kalampitan,
Umbang, Kuran, We Petang, Pancar, Mungguh, Tunggalis dan Pabayeman .
Diantara nama tempat sebagian sudah dapat
diidentifikasi. Hadimulyono dalam tulisan lepas mengidentifikasi nama-nama
tempat itu adalah: Gapuk : Dusun Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari
Winongan 4 km ke arah barat laut. Poh : Rapoh (?) terletak 1.5 km kearah barat
daya dari Winongan, Papoh (?) terletak 5 km kearah barat daya dari Winongan.
Capahan : Pemandian kuno di Banyubiru dari Winongan 2 km ke arah tenggara.
Kuran : Kurban (?) terletak 1.5 km kearah barat laut Winongan. Lumbang :
terletak di dekat Winongan, 9 km kearah barat daya Tunggalis :Tenggilisrejo, 4
km kearah barat Winongan. Waktu pulang dari Lumajang, Hayam Wuruk setelah
meninggalkan Baremi masuk Pasuruhan mengarah ke selatan menuju Kapulungan,
Kapanan, Andoh, Wawang, Kedung Pluk dan Hambal. Sedangkan Prapanca memisahkan
diri dari rombongan menuju Darbaru .Nama Pasuruan Kita mengetahui bahwa semua
barang baik yang bersifat konkrit maupun bersifat abstrak selalu diberi nama,
dalam hal ini termasuk tempat hunian maupun tempat yang tidak dihuni
(dusun,desa,hutan,dst) Banyak cara orang memberi nama pada suatu tempat, ada
yang diambilkan dari unsur nama tumbuh-tumbuhan (flora) misalnya: Pohjentrek,
Pasuruan, Puspo, Kepuhrejo.
Ada yang diambilkan dari unsur
binatang (fauna) misalnya: Keboireng, Gununggangsir. Ada pula yang diambilkan dari unsur alam,
harapan, maupun unsur kepercayaan misalnya: Wonorejo, Banyubiru, Ngerong,
Sukorejo, Suci, Pawitra. Setiap nama tentu mempunyai makna, paling tidak nama
mempunyai dua makna yaitu Makna Tanda dan Makna Simbolis. Karena setiap tempat
diberi nama, maka akan mudah membedakan antara tempat yang satu dengan yang
lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana rancunya jika setiap tempat tidak diberi
nama sebagai tanda. Kecuali nama sebagai tanda, nama juga mengandung makna
simbolis. Makna simbolis pada nama dapat dikaitkan dengan sejarah (historis)
misalnya: Purwodadi, Rejoso, Purwosari. Atau dikaitkan dengan harapan tertentu
misalnya: Sukorejo, Wonorejo, Kejayan. Makna simbolis dapat dihubungkan dengan
kepercayaan misalnya: Sang Hyang Dammapartapan I pawitra, Sang Hyang Tirtha
Pancuran Pawitra.
Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat
dikenal pertama kali dan secara tertulis disebut dalam buku Nagara Kertagama.
Tahun I daton nire pasuruhan manimpan anidul ri kapananan, anulya atut damargga
madulur tikan ratha daton rin andoh wawan, muah I keduplukh lawan I hambal
antya nikan pradecenitun,... Artinya: Sungguh setelah sampai di Pasuruan, ia
membelok kearah selatan Kapananan, kemudian mengikuti jalan utama semua kereta
bersama-sama memasuki Andoh Wawang dan Hambal, semua desa (yang dikunjungi)
selalu diperhatikan. Dalam buku tulisan orang Belanda karena dialek dan ejaan
tulisannya maka Pasuruan ditulis Passourrouang, Pasoeroeang atau Pasoeroean.
Sekarang dari kata apa atau mengapa tempat ini diberi nama Pasuruan.
Dari segi kebahasaan (linguistik) kata Pasuruan
dapat diurai menjadi pa - suruh - an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau
kumpulan daun suruh. Suruh (bahasa Jawa baru) atau sirih (bahasa Indonesia)
bahasa Jawa kunonya sereh . Mengunyah sirih sangat terkenal di Nusantara,
dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Memang sekarang tradisi mengunyah
sirih bagi kaum muda sudah jarang dilakukan, tetapi bagi kaum tua di pedesaan
masih banyak yang mengunyah sirih. Mengunyah sirih mempunyai makna simbolis
yaitu persaudaraan dalam interaksi sosial. Sehingga pada waktu dulu jika kedatangan
tamu tentu disambut dengan puan berisi sirih lengkap dengan kapur, gambir, dan
buah pinangnya. Sampai sekarang sirih masih dipergunakan pada saat panggih
temanten sebagai sadak (lempar-lemparan sirih yang dilakukan mempelai pria dan
wanita).
Demikian terkenalnya daun sirih di Nusantara baik
masa lalu maupun sekarang. Sereh dapat juga berarti perintah, dalam
kesusastraan Jawa Kuno itu sering dipergunakan . Jadi arti sereh sepadan dengan
arti suruh dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Yang jadi masalah ialah
apakah pada masa itu (abad 10 M) bahasa Melayu kuno telah berkembang di pulau
Jawa. 7 bahasa Melayu kuno terkenal di Sumatera (prasasti-prasasti dari
kerajaan Sriwijaya). Di Jawa pun ternyata ditemukan beberapa prasasti berbahasa
Melayu kuno yaitu prasasti Payaman (ditemukan di Bukateja Purbalingga, Jawa
Tengah), Prasasti Dewa Drabya (ditemukan di Dieng), prasasti Manjuarigreha 714
C = 2-XI-792 (di Candi Sewu).
Di wilayah Selendra, prasasti Sanghyang Wintang
(Gandasuli II) dan prasasti Dang pu Hawang Glis (Gandasuli I) 749 C = 2-XI-792
M. Dari beberapa prasasti yang berbahasa Melayu yang bermasa sekitar abad VIII
- IX M, jelas bahwa bahasa Melayu kuno berkembang sampai Pilipina Selatan
(prasasti 822 C = 900M) Dari kenyataan demikian. Maka dapat disimpulkan bahwa
sereh yang berarti perintah (Jawa kuno) sepadan dengan arti suruh (bahasa
Melayu kuno, Indonesia).
Jadi Paserehan atau Pasuruhan adalah tempat perintah atau pemerintahan, yaitu
pemerintahan yang melingkupi wilayah Pasuruhan. Pada konteks yang lain sejarah
Kabupaten Pasuruan memang sangat unik dari segi nama Pasuruan disebut-sebut
dalam kitab Negarakertagama, Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti dengan kata
Pasuruhan dan Kakawin Sorandaka menyebutkan ada nama Sora yang daerahnya
disebut dalam kitab tersebut disebut dengan Pasoraan yang berbatasan dengan
daerah yang bernama Japan dan memiliki Syah Bandar yang bernama Banger (dalam
catatan Tiongkok disebut Bang-il), oleh Belanda merujuk sebuah buku yaitu
Beknopte Encyclopedie Van Nedelansch-Indie buah karya T.J. Bezemer, 1921
disebut dengan Pasoeroean.
Secara umum kita mengetahui bahwa rangkaian lintasan
sejarah di Indonesia
berjalan dari satu masa ke masa berikutnya dengan penuh dinamika demikian
halnya Pasuruan. Dalam berbagai sumber disebutkan banyak daerah yang kini masuk
dalam wilayah Kabupaten Pasuruan menjadi saksi sejarah pada zamannya, hal ini
menunjukkan eksistensi Pasuruan sebagai daerah penting pada masa itu sebagai
contoh adalah disebutkannya beberapa daerah.Pandakan atau Pandaan Pandakan
berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing, merupakan
daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J.
Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79. Sebagai berikut, ...Sri
Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Sri Kertanegara;
Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya.
Kertenegara menjadi raja, bernama Batara Siwabudha.
Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka (Nangkajajar), bernama
Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya,
dijauhkan, disuruh menjadi adipati di Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura
sebelah timur. Ada patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta
kerajaan, bernama Empu Raganata ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan
raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara; karenanya itu Mpu Raganata
meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo Tengah sang A
Panji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara
pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana (musafir) bernama Baya.
Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk
pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia
kembali, datangnya di Tumapel sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan
berhari-hari; raja Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong, raja
di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap usaha musuh
yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak memikir kesalahannya.
Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu; ia
berteman dengan raja Jayakatong; Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu
dari Madura mengadakan hubungan dan berkirim utusan.
Demikian juga raja Jayakatong berkirim utusan ke
Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi surat;
"Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja
bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi
berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali, tak ada bahaya, tak ada
harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya; ada harimau, tetapi tak
bergigi". Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tidak bergigi,
karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong berangkat menyerang Tumapel.
Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang
tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara
Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang
melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa-Buda senantiasa minum-minuman keras
diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan
kata: "Bagaimana dapat raja Jayakatong demikian terhadap kami, bukankah ia
telah baik dengan kami" Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah
ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang
datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyakkapuk,
Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang bernama
Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan tentara Daha di
bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa larilah orang-orang
Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya.
Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang
datang dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan
membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian, sedatangnya di
Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara
Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha Kebomundarang, Pudot, dan Bowong.
Ketika Batara Siwa-Buda sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih,
maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan
pembalasan, meninggal di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara
tersebut, diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun
dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera
Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke Tumapel,
melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar diburu oleh
Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah miring, maksud
Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas
ditenggala, dada Kebomundarang sampai mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil
berkata; "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini." Sekarang Raden
Wijaya membagi-bagi cawat dari kain ikat berwarna merah, diberikan kepada
hamba-hambanya, masing-masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk
mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan
Gadjah. Sora segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang
ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. "
Raden Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka
lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah
tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang-orang Daha
bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang-orang
Daha itu larinya.
Batara Siwa-Budha mempunyai dua orang anak
perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya; demikianlah maksud
Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda
berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung
dengan kerepotan orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada
waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya.
Didapatilah puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera
dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh Raden
Wijaya, lalu berkata; "Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar
dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: " Janganlah tuan,
bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku
sekarang ini." Jawab Raden Wijaya." Justeru karena itu". Maka
Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa
mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah dapat
ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai-anai menyentuh
pelita. "Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung,
semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang
Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu Grati). Orang-orangnya
ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk berperang menghentikan orang Daha.
Gadjahpagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden
Wijaya: "Gadjahpagon, masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari
kita bersama-sama mengamuk. " Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja
hendaknya perlahan-lahan. "Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya,
kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar seperti
ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua, ganti-berganti mendukung
puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu bermusyawarah, membicarakan tentang
keadaan Raden Wijaya.
Setelah putus pembicaraannya, semua bersama-sama
berkata: "Tuanku, sembah hamba-hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir
tuanku ayng masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat
hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku
mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan,
mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu
karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden:
"Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat
malu." Jawab Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama:
"Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya
Raden Wijaya menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang
di PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping:
"Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum
airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu.
Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi
nasi". Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya:
"Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang; Gadjahpagon ini tak
dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu," Kata orang PANDAKAN:
"Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gadjahpagon
didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di PANDAKAN, kehendak
hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang
menyabit ilalang, di tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah
dangau, sunyi, tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti
yang akan memberi makan tiap-tiap hari".
Grati/Telaga Pager Di ujung timur tlatah Jawa Timur
ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung timur Jawa,
dikisahkan terjadi pabaratan antara orang Bali dan orang Jawa. Yang termasuk
sejarah tlatah ini adalah kisah mengenai danau Grati yang sering dituturkan
kembali pada kakawin Pararaton diatas dengan nama Telaga
pager.Bangil/Banger/Bengal/Bang-il Menurut catatan Tiongkok ada kabar berita
dari Raja Ta-Cheh (Mu'awiyah bin Abu Sofyan) mengirimkan utusan untuk
menyelidiki kerajaan Kalingga (674/675M) yang mendarat di Syah Bandar yang bernama
Banger/ Bang-il. Lalu dalam kakawin Harsawijaya dimana R. Wijaya berangkat ke
pelabuhan Banger dekat Rembang yang menuju Sungeneb (Sumenep
Madura).Japan/Japanan Japan atau Japanan dalam masa sekarang merupakan daerah
yang strategis pada masa lalu, berikut cuplikan pada beberapa fakta sejarah,
Nagarakertagama (1359 M) mencatat peristiwa perjalanan Raja Hayam Wuruk ke
Lumajang dengan menyinggahi berbagai tempat di Jawa Timur.
Waktu berangkat dari Majapahit disebutkan dalam
syair 17 bait 7 baris satu dan dua kemudian syair 17 bait 10 baris I sebagai
berikut: Ndan ring caka cacangka naga rawi bhadrapadamasa ri bambwa ning wulan,
sang criajasanagara mahasahas ri Lumajang angitun sakhendriyan, tambening
kahawan winnarna ri japan kuti-kuti hana sakrbah. Terjemahannya: Tahun C 1281
(1359 M) bulan Badrapa (Agustus / September) bulan paro terang mulai tampak.
Baginda Rajasanagara mengadakan lawatan ke Lumajang, memperhatikan segala yang
dilaluinya. Pertama yang disinggahi adalah Japan dengan asrama dan candi-candi
dalam keadaan rusak. Dan waktu kembalinya dari perlawatan syair 58 bait 2 baris
3 menyebutkan: Praty amegil ri Japan
nrpati pinapag ing balangghya datang, Artinya: Tiba diperistirahatan Japan,
barisan tentara datang menjemput baginda. Dalam seri terjemahan Javanologi
hasil kerjasama Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan
perwakilan Koninklijk Institut Voor Taal, Land, en Volkenkunde, de Graaf banyak
mengutip penuturan sejarah di Jawa dari Babad Tanah Jawi dan lain-lain.
Diantaranya yang menyangkut kawasan daerah Japan adalah sebagai berikut:Jaman Pemerintahan
Panembahan Senopati Pada tahun 1589 M sudah terjadi pertempuran antara pasukan
Mataram dan pasukan Surabaya.
Raja-raja Jawa Timur dibawah pimpinan Pangeran Surabaya dan Senopati Mataram
berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan 30.Jaman Pemerintahan Sultan
Agung Turunkan serangan kedua dilakukan oleh Adipati Japan berakhir dengan
kekalahan total bagi pihak sekutu (persekutuan raja-raja Jawa Timur). Adipati
Japan gugur setelah mengadakan perlawanan kuat dan atas perintah Raja Mataram
yang memuji atas kepahlawanannya, ia dimakamkan di Butuh di sebelah raja
Pajang. Kematian dan pemakaman Adipati Japan pada Babad Tanah Jawi tertulis
candra sengkala: Resi Guna Pancaning Rat (Orang bijaksana adalah kecerdasan
lima dunia) yang berangka 7351 atau tahun Jawa 1537 atau 1615 Masehi 31.
Mengenai pertempurannya sendiri, Jan Pz. Coen menulis pada 31 Maret 1616 M di
Banten berdasarkan berita dari Jepara yang diterimanya pada 1 Pebruari 1616 M,
menyatakan bahwa yang disebut Mataram dalam satu pertempuran telah menaklukan
semua lawan, yaitu Raja-raja dari timur Jawa. Juga penentuan tanggal,
berdasarkan keterangan bahwa surat
tentang pertempuran ini bertanggal 1 Pebruari 1616 M, maka pertempuran tersebut
tidak mungkin terjadi jauh lebih dahulu, jadi kira-kira bulan Januari 1616 M.
Dalam hal ini keraguan sumber-sumber Jawa yang
menyebut tahun 1615 M dan 1616 M dapat dimengerti sepenuhnya. Dalam tulisan
SEKITAR JOGJAKARTA 1755M - 1825M, dinyatakan bahwa Japan dipandang dari sudut
Ilmu Pemerintahan (Staat Skundig) tampak menduduki posisi kunci meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit. Diantaranya dinyatakan: Dengan
Demografi
Kabupaten
Pasuruan memiliki keanekaragaman penduduk yang sebagian besar adalah suku Jawa, selain itu bisa juga ditemui
suku-suku lain seperti suku Madura serta
masyarakat keturunan Tionghoa-Indonesia,
Arab dan India. Di
Pasuruan juga masih dapat ditemui satu suku dengan sosial budaya khas, yaitu
masyarakat Tengger yang hidup di kawasan Pegunungan Tengger
Kecamatan Tosari. Sistem sosial dan religi masyarakat Tengger ini sangat unik
dan khas dengan berbagai aktivitasnya seperti perayaan Hari Raya Kasada dan
Hari Raya Karo yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai religius dan
sejarah.
Kota Pasuruan terletak ditengah
– tengah Kabupaten Pasuruan, tebentang pada 7o33’ Lintang Selatan dan 112o 28’
Bujur Timur, dengan luas wilayah 36,58 m2. Lokasi Kota Pasuruan yang berada di
garis khatulistiwa mempunyai perubahan iklim sebanyak dua jenis, yaitu musim
kemarau dan musim penghujan. Bulan Oktober sampai April merupakan musim
penghujan, sedangkan bulan Mei sampai September merupakan musim kemarau.
Pembagian administratif
Kabupaten
Pasuruan terdiri atas 24 kecamatan, yang dibagi
lagi atas 341 desa dan 24 kelurahan.
Kabupaten
Pasuruan dipimpin oleh bupati H. Dade Angga, SIP. dan wakil bupati Eddy
Paripurna (2008-2013, dilantik 9 Juli). Pasangan yang diajukan PDI-P dan 10
partai nonparlemen ini menggantikan Jusbakir Aldjufri dan Muzammil Syafi’i
(2003-2008). Sebelumnya, Dade pernah menjadi Bupati Pasuruan pada periode
1998-2003.[1] DPRD Pasuruan beranggotakan 49 orang.[2]
Kota
Pasuruan dipimpin oleh Walikota H. Aminurokhman, SE, MM. dan wakil Walikota H. Pudjo Basuki.
Geografi
Bagian utara wilayah Kabupaten
Pasuruan merupakan dataran rendah. Bagian barat daya merupakan pegunungan,
dengan puncaknya Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Bagian tenggara adalah bagian
dari Pegunungan
Tengger, dengan puncaknya Gunung Bromo.
Wilayah Kota Pasuruan di sebelah
utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Rejoso Kabupaten Pasuruan sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kraton dan
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan. Luas
wilayah Kota Pasuruan 35,92 Km2.
Transportasi
Wilayah
Kabupaten dan Kota Pasuruan dilintasi jalur pantura Surabaya-Banyuwangi.
Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas timur Pulau Jawa serta
menuju Malang, Blitar,
Tulungagung,
Kediri
dan Kertosono,
di Stasiun Bangil terdapat persimpangan jalur
tersebut. Bagian barat wilayah Kabupaten Pasuruan terdapat jalur utama
Surabaya-Malang, serta ruas jalan tol Surabaya-Gempol yang sementara terputus
akibat luapan lumpur lapindo. Gempol merupakan kota persimpangan jalur Surabaya-Malang
dengan jalur menuju Mojokerto/Madiun.
Industri
Kabupaten
ini memiliki salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur, Pasuruan
Industrial Estate Rembang (PIER).
Industri utama di kabupaten ini antara lain Sampoerna di Pandaan, Matsushita
(Panasonic), Cheil Jedang Indonesia Rejoso dan PT.
Nestle Indonesia di Kejayan.
Pariwisata
Bagian
barat wilayah kabupaten ini (perbatasan dengan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Malang) adalah dataran
tinggi yang cukup sejuk, dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama Jawa
Timur. Kawasan tersebut terdapat villa-villa peristirahatan, dan sejumlah
perumahan elit. Kawasan pegunungan ini juga sering digunakan sebagai tempat
berkemah. Di antara obyek wisata andalan Pasuruan adalah Taman Safari Indonesia di Prigen dan Kebun Raya Purwodadi.
Sebelah selatan Kota Pasuruan terdapat Gunung Bromo, salah satu tujuan wisata utama
Jawa Timur.
Kota pasuruan mempunyai berbagai macam tempat
wisata diantaranya: Banyu biru Serta juga ada Taman Kota dan Gedung P3GI dan
kawasan Pelabuhan.